***
Seorang pemuda yang memiliki tinggi kira-kira hanya 152 cm itu terlihat berkutak dengan tugas-tugas sekolah. Ia fokus tanpa menyadari bocah kecil mendekat padanya.
"Kak—" bocah itu yang tak lain adalah Fyan, meneguk ludah susah payah. Mendapat lirikan tajam dari kakaknya membuat ia kesulitan bernafas.
"Hah?" tanya kakaknya tak jelas. Tapi Fyan mengerti, kakaknya sedang bertanya 'apa?' ya... Begitulah kira-kira.
"Bang Azlan sama bang Isrul udah pulang, kak Sandy nggak kepengen ketemu?" tanya Fyan takut-takut.
Irsandy Al-Arkan Khair, mengangkat satu alis seolah berkata 'apa urusannya dengan ku?'
"Yah. Hari senin ketemu juga pasti." Jawab Sandy tak minat.
"Kak—"
"Pergi! Gue muak liat muka lo!!"
Padahal dari tadi dia nggak liat aku!!
Fyan menggerutu dalam hati. Ia baru saja melangkah, suara Sandy menghentikan langkahnya.
"Jangan datang ke gue kalo mau basa-basi, gue risih. Lo punya abang 'kan? Nah, iya... Ajak aja ngereog sama-sama, kalau gue nggak minat!"
Fyan tersenyum masam, "iyalah... Fyan punya abang. Ganteng semua, baik, terus penyayang lagi."
Fyan juga punya kakak, emosian, kek iblis.
Setelahnya Fyan benar-benar pergi.
Perkataan Fyan seakan mempertegas bahwa Sandy tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Azlan dan Afnan, ia menjadi tersinggung.
Ia benci, semakin benci dengan Muhammad Sofyan Al-Khair. Jika ada yang bertanya kenapa?! Maka Sandy akan menjawab dengan tegas, ibunya meninggal karena melahirkan anak itu, ibunya pergi meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali lagi. Itu semua karena melahirkan Fyan.
; Karena, Fyan.
Sandy menyelesaikan tugas sekolahnya setelah seperkian menit. Ia meregangkan ototnya yang terasa sakit karena terlalu lama duduk.
Berniat merapikan buku-buku yang berserakan, pergerakannya terhenti ketika ia menyadari atensi seseorang. Sandy mengangkat pandangan dan netranya bersitubruk langsung dengan netra tajam ayahnya. Sandy meneguk ludah.
"Sudah belajar?" tanya ayahnya santai. Imran Syaid Al-Khair, atau sebut saja Imran.
"Iya."
Imran menoleh ketika mendapat jawaban dingin dari putra sulungnya.
"Terus? Ngapain berdiri gitu? Masih ada tugas, atau mau istirahat?"
"Istirahat."
Jawaban yang dingin lagi, membuat Imran mengatur nafas mencoba menahan emosi. Ia bangkit dari duduk kemudian melangkah menjauh.
"Ayah mau kerumah keponakan dulu, jaga adekmu."
Sandy terus memperhatikan punggung ayahnya yang semakin menjauh. Imran tak berbohong, dia benar-benar menaiki mobil lalu pergi dari pekarangan rumah, yang Sandy yakini ayahnya berniat kerumah Azlan dan Afnan. Keponakan kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Surat Takdir Dari Tuhan
Teen Fiction[TAHAP REVISI] Setelah merasa bebas karena berhenti mondok dan melanjutkan pendidikan di bangku MA, Azlan pikir hidupnya akan seperti cerita-cerita kebanyakan, mewah dan tak tertekan. Tetapi justru, semakin tersiksa saja! Tentang saudara yang mampu...