Aku tidak tahu apa yang membuat ibu melangkah lebar-lebar meninggalkan diriku jauh di belakang. Justin hanya mengejar tanpa bertanya sedikitpun soal perubahan sikap ibuku. Zain tak lagi terurus, aku tidak tahu perasaan setelah mendengar ocehan pedas khas ibuku. Kami menuruni tangga teramat cepat dan aku bergegas menghadang.
"Mom, kita salah jalur!" Aku menegur dengan menahan diri untuk tidak ada nada tinggi di tiap ucapan. "Aku tidak tahu apa yang ibu pikirkan, tapi jika itu berhubungan dengan lelaki tadi maka tolong pikirkan tentang kebaikannya yang sudah membantuku."
"Kamu tidak perlu tinggal di tempat seburuk itu, Leora!" Ibu berteriak keras dan aku terkejut. Aku yakin kami sudah menjadi tontonan. "Mereka hanya akan menjadi afektif buruk untukmu dan ibu tidak mau itu terjadi."
"Mom, dia memiliki afektif baik!" Aku mencoba membalikkan pemikiran ibu soal Zain. "Dia tampak baik, sopan, dan aktif. Bagaimana ibu berpikir kalau dia akan membuat afektif buruk?"
"Dia bertato, Leora! Aku mencium rokok begitu pekat dari mulut dan bajunya! Dan mata merahnya jelas menandakan kalau dia pengguna obat terlarang!" Ibuku menjabarkan fakta yang dia dapati dengan begitu ngotot. "Dia sangat buruk!"
"Baiklah, Mom! Mari kita lupakan dia dan bahas aku saja!" Aku meraih dua tangannya dan berusaha memasang senyum tulus. Ibuku tampak sangat kesal dengan permintaanku. "Aku tak mudah untuk dipengaruhi oleh ibu yang hidup bersamaku sejak lahir. Aku juga tidak bisa berubah karena dekat dengan Justin selama berpuluh tahun."
"Tapi ini berbeda! Ibu ingin terbaik untukmu!"
Aku mengangguk mantap dengan tetap tersenyum tulus. Mataku menatap ibu dengan penuh harapan.
"Aku mohon percayalah bahwa aku bisa jalani dua tahunku dengan mulus dan lancar!" Aku mengatakan sejujur mungkin.
"Apa yang akan berjalan lancar jika hal di sekitarmu buruk, Sayang?" Ibuku mengajukan pertanyaan begitu sulit. Helaan napas pasrah muncul melihat keteguhan begitu kokoh dari ibu.
"Tapi...."
"Apa kamu tidak melihat orang-orang yang berpapasan dengan kita? Bahasa mereka sangat buruk dan cara pakaian begitu terbuka!"
Ibu sudah menyelaku dengan mata begitu tajam. Aku sudah merengek sangat lama dan tidak berpengaruh sama sekali. Aku melirik Justin yang tersenyum tipis padaku seakan kami harus mencari tempat lain.
"Baiklah." Aku mengatakan keputusan akhir dan ibuku melotot seakan tidak pernah percaya kalau aku akan setuju. "Tapi kita lihat kamar dulu sebelum memutuskan segalanya! Jika tempat itu tidak memadai dan teman sekamarku setipe dengan Zain maka ibu boleh membawaku ke tempat lain."
Ibuku memijat kening berkerutnya dan memandangiku begitu lekat. Helaan napas terdengar jelas.
"Baiklah. Sekali saja."
Ibuku menjawab sangat tegas. Kami berputar dan kembali menelusuri jalan menuju ruangan asramaku. Selama perjalanan hanyalah diam dan suasana tegang. Beberapa mahasiswa yang tak kukenal melakukan obrolan rahasia dengan lirikan padaku. Aku tidak bisa mengetahui apa yang dibahas apalagi membungkam mereka.
Pikiranku sangat runyam. Aku sangat takut jika isi kamarku ada lelaki tatoan begitu menyebalkan seperti Hardin. Suara kepalaku begitu berisik membuat fokusku teralihkan sampai tidak sadar kalau sudah sampai. Justin yang pegang kuncinya langsung menancapkan di kenop dan membuka pintu.
Ruangan cukup tertata rapi. Ada dua kasur dengan satu meja panjang dan dua lemari berpintu dua dengan tinggi menyentuh langit-langit. Kolong kasur cukup lebar sehingga aku menaruh kotak cokelat besar di sana. Kamar mandi hanya cukup untuk satu orang dan itupun hanya bisa berdiri tegap. Tak ada TV, tak ada media hiburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVEHATE AFFECT
RomanceLeora benci berurusan dengan Harold dan begitu juga Harold, tapi jebakan di alam semesta menyebabkan mereka bersatu. . Leora sangat membenci Harold, sifatnya yang angkuh, angkuh, sikapnya yang angkuh, dan sikapnya yang angkuh. Dia tidak ingin pria s...