Affect | 19

18 1 0
                                    

⚠️EXPLICIT SEX CONTENT⚠️

Harold meninggalkanku setelah Milla dengan Shawn datang, melupakan satu pertanyaannya yang belum sempat aku jawab. Aku tidak tahu kapan dia akan kembali, dia selalu datang kapanpun dia mau. Permasalahannya adalah aku tidak bisa mempertahankan keputusan jika dia terlalu lama pergi.

Harold belum datang. Aku mengecek jam dinding sekilas dan menengok ke pintu karena seorang perawat masuk. Dia membawakan sebungkus plastik, senyum kecil membuatku tersadar jika sudah waktunya aku pulang.

"Terimakasih, Suster."

Aku mengucapkan dengan setengah hati, tapi perawat itu tidak menganggap ekspresiku terlalu serius. Aku bangun dan mendapati tas di nakas, ter-packing rapi. Meja besi kosong, aku tidak perlu mengecek apapun karena Harold sudah merapikannya.

Aku menggendong tas dan pergi dari ruanganku untuk terakhir kalinya. Aku mampir sekilas ke meja administrasi dan pamitan walaupun sekadar lewat. Mereka sumringah melebihi diriku. Aku masuk ke lift dan menuju lantai dasar.

Namun pergi ke mana?

Aku ingin menghubungi Harold, tapi ada gengsi mengingat aku tidak pernah memulai percakapan selain perdebatan dan itu membawaku pada beberapa pemikiran buruk soal Harold yang dari bawaannya sudah sangat arogan dan narsis.

Deting berbunyi dan dua bilah pintu membelah untukku, aroma wangi khas panggangan menggoda tubuh yang lagi lapar-laparnya. Aku mampir ke sebuah toko terbuka dengan satu rak raksasa, ada banyak jenis roti yang disajikan.

Aku mengambil satu kantung yang sudah disediakan di dekat keranjang dan memungut semua jenis biskuit. Tanpa sabaran, aku meraup seakan maling dengan aksinya. Konsentrasi terlalu tajam membuatku tidak peduli ada yang sedari tadi di sampingku.

"Sudah selesai, belum?"

Aku hampir terlonjak dan spontan berteriak keras jika dia tidak segera membekap mulutku, tangannya tanpa sopan memindahkan wajahku agar kami berhadapan dan matanya sudah menyorot sangat tajam seakan aku sudah melakukan kesalahan.

"Aku tidak meminta banyak, tapi beri tahu kalau kamu sudah boleh pulang!" Harold menceramahiku dan aku hanya merotasi mata malas. "Hei! Aku bicara padamu, Leo!"

"Aku tidak bisa menghubungimu, H! Di sana, perawat sudah menunggu tidak sabaran!" Aku membalas ketus dan menghela napas kasar. "Harusnya aku marah padamu karena tidak segera muncul!"

Harold terperangah sebelum memeluk punggungku yang ingin meninggalkan dirinya. Dia membuntutiku tanpa lepas pelukan membuatku kesulitan berjalan. Dia menaruh dagunya di ceruk leher setelah aku berhenti di depan kasir yang baru membuka baris baru agar mengurai antrian yang mengular agak panjang, membiarkan wajahnya tenggelam di lebatnya rambutku yang mulai agak ikal.

"Aku lelah. Maaf kalau aku salah bicara padamu." Harold merujuk padaku, dia terdengar sangat menyesal dan sedih membuatku tak tega. Suaranya sangat serak dan penuh emosi. "Aku sayang kamu, Leo."

Lupakan permaafanku, emosiku kembali muncul begitu dia tidak pernah mau memanggilku dengan benar. Aku mendengus sebal dan lihat kasir menyimpan tawa dari kami. Aku menyingkirkannya dari badanku, meninggalkannya yang manja dan dia manyun.

Aku menghela nafas dan memutar mataku ke arah Harold, tapi mau tak mau aku merasa sedikit lega karena dia akhirnya sampai di sini. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri sebelum berbalik menghadapnya.

"Kau di sini," kataku, suaraku dipenuhi campuran kemarahan dan kelegaan. "Aku cemas kamu tidak pernah datang untukku, H! Kamu tahu aku... Aku... Baru... Putus."

"Aku sangat menyesal. Aku minta maaf. Aku harus mengurus sesuatu," kata Harold, tampak sangat kacau dan itu mengacaukan perasaanku sangat. "Aku tidak pernah memaafkan diriku untuk hari ini."

LOVEHATE AFFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang