Affect | 32

11 1 0
                                    

Suara cuitan burung terdengar saat buka mata. Dedaunan terakhir berguguran dan aku tahu musim gugur akan segera selesai. Di atasku, dia tertidur pulas dengan sisa keringat berkilauan di badan telanjang. Badan besarnya membuatku pegal, tapi aku merasa sangat bahagia. Bibirku tidak mau berhenti tersenyum mengingat apa yang kami lalui malam ini.

"Harold, bangunlah! Aku lapar," rengekku berusaha membuatnya tersadar.

Dia menggeram rendah lebih panjang dari biasanya dan aku tahu dia tidak menyukai ideku. Pinggulnya malah menghentak kecil menjalarkan sakit yang manis di dalam tubuhku. Desahan meluncur sebelum aku membungkam mulut.

Aku membanting ke samping sambil menjauhkan diri darinya, perutku keroncongan. Dia hendak menindihiku lagi, tapi kegaduhan di bawah sana jauh lebih banyak membuat kami penasaran. Kami berpakaian dan segera turun untuk memastikan keadaan di ruang tepat di bawah kamar kami yang tidak lain ruang bersantai.

Liam dan Louis terkapar dengan luka-luka begitu banyak, tersebar di wajah, tangan, dan kaki. Aku tidak tahu apa yang telah mereka lalui, tapi aku merasa sangat prihatin. Aku buru-buru kembali ke kamar untuk mencari kotak obat hingga hampir tersandung, tanpa ditemani Harold. Lelaki itu mungkin menghampiri temannya dan memberi dukungan.

Aku bergabung dengan beberapa lelaki di ruang bersantai, Niall sudah bergabung. Bukannya mengobati, Harold dan Niall malah bercanda soal luka yang Liam dan Louis dapatkan. Aku membanting kotak obat tepat di depan wajah Harold sebagai wujud protes, wajahku pasti sangat tidak enak dipandang.

"Aduh! Kenapa harus banting-banting seperti itu?" Harold mengaduh, meraih kotak obat yang terjatuh dan menatapku dengan ekspresi campur aduk antara kesal dan geli. "Kami sedang berusaha menghibur mereka!"

"Ini bukan saatnya bercanda!" sahutku, menyipitkan mata pada mereka. "Liam dan Louis butuh perawatan. Kita semua tahu betapa seriusnya keadaan mereka."

Niall yang duduk di samping Liam, mengangkat bahunya.

"Tapi kami juga perlu sedikit humor di tengah semua ini. Terkadang, tertawa adalah obat yang lebih baik daripada salep."

Aku menggigit bibir, berusaha mengendalikan emosiku. Mereka keterlaluan! Harold mulai melupakan fungsi otaknya untuk berpikir.

"Tertawa tidak akan mengobati luka fisik mereka. Ayo, kita mulai perawatan sebelum terlambat."

Dengan enggan, Harold berdiri dan membantu Niall untuk mengambil beberapa perban dan antiseptik dari kotak obat. Sementara aku menilai luka-luka di wajah Liam yang terlihat paling parah, bingkai matanya bengkak dan memerah.

"Apa yang terjadi padamu?" tanyaku dengan lembut, mencoba membuatnya merasa lebih nyaman.

Liam tersenyum lemah meskipun wajahnya tampak menyakitkan.

"Hanya sebuah pertarungan bodoh dengan sekelompok pengganggu di luar sana. Mungkin kami terlalu agresif."

Louis, yang terbaring tak jauh darinya, ikut bersuara.

"Dan kami tidak tepat menghitung jumlah mereka... satu versus lima bukanlah ide yang cerdas."

Aku menggelengkan kepala sambil mengingatkan diriku sendiri untuk tetap fokus. Mereka membutuhkan bantuan sekarang dan bukan ceramah tentang kebodohan mereka. Setelah beberapa menit bekerja cepat, akhirnya kami berhasil membersihkan luka-luka mereka sebaik mungkin.

"Terima kasih," ucap Liam setelah aku selesai membalut luka di tangannya. "Kau selalu jadi yang paling perhatian."

"Ya, ya," balasku sambil menyeka keringat di dahi. "Tapi jangan pikir aku akan mau melakukannya lagi lain kali."

LOVEHATE AFFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang