Jalanan macet membuatku harus berlama dengannya. Matahari lebih cepat tenggelam dari hari-hari sebelumnya menandakan musim gugur segera berakhir dan musim dingin sebentar lagi dimulai.
Aku tidak menyangka akan berdekatan dengan Justin, dia di sini. Harusnya aku senang, tapi hubungan kami sudah selesai. Dia meminta jarak dariku setelah memilih mendengar rumorku dengan Harold saat itu dan rumor itu kini terbukti benar : Aku milik Harold.
"Apapun yang aku lakukan bukan lagi urusanmu, Justin! Aku tidak lagi milikmu dan aku harap kamu berhenti berada di sekitarku dan memulai hidupmu di sana, Cambridge dengan masa depan sudah sangat menjanjikan itu!"
Justin terdiam sejenak, wajahnya terbakar oleh kata-kataku. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku ragu. Apakah dia benar-benar ingin pergi? Atau justru dia merasa terjebak dalam keputusanku?
"Jalanan ini memang macet, tapi hatiku tidak akan pernah macet untukmu," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan. Suaranya bergetar, dan aku bisa melihat kerinduan yang masih tersisa di matanya.
"Justin, sudah cukup! Kita sudah selesai," ujarku, berusaha menguatkan diri meski hatiku meronta. "Kamu meragukanku dan itu sudah sangat cukup untuk mengakhiri ini semua."
Dia menghela napas dalam-dalam dan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Dia tidak bisa mengenalimu sebaik aku."
Aku menoleh ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota mulai menyala seiring malam tiba.
"Kau tidak mengerti. Harold mencintaiku. Dia memberiku apa yang kau tak bisa berikan. Rasa aman, kepastian... Semua yang aku impikan."
"Tapi apakah kau benar-benar bahagia? Atau kau hanya berusaha meyakinkan dirimu sendiri?"
Bahagia?
Batinku terbahak ironis atau mungkin sarkas.
"Sekarang bukan waktunya untuk berbicara tentang perasaan," kataku. "Kita sudah tamat. Ini jalan kita masing-masing."
Justin menganggukkan kepala beberapa kali. Dia menerima kenyataan pahit itu, tetapi aku tahu dia masih berharap ada kemungkinan lain.
"Dia berbahaya. Aku memperingatkan dan kali ini dengarkan aku, sekali saja."
"Kamu tidak bisa menyuruhku ini dan itu! Aku mengerti apa yang aku inginkan dan Harold memiliki hidupnya yang lebih dalam daripada yang kamu lihat."
"Kau akan menyesal nanti. Semua yang kau anggap berharga hanyalah semu."
Suaranya penuh ancaman, tapi aku tidak lagi peduli. Aku turun setelah mobilnya selesai terparkir di kedai yang Liam referensikan. Mobil akhirnya bergerak lagi, dan tanpa memikirkan apa pun, aku menggelengkan kepala.
"Jika suatu hari nanti kau berubah pikiran... ingatlah bahwa pintuku selalu terbuka."
Mobil melaju menjauh dari sosoknya yang semakin mengecil di belakangku, ada Liam dan Harold berlari padaku dan tanya banyak hal. Namun aku tidak menjawab dan melihat jalanan.
.
Kami memutuskan pulang, aku menahan Liam dengan alasan membantunya masak. Namun aku tidak benar-benar memasak dan ingin berbicara lebih pribadi dengan dirinya saja.
Liam mencincang daging sedangkan aku mencuci sayuran, kami berdekatan jadi bisa saling berbisik. Harold memainkan game balap mobil melawan Niall, mereka terlalu fokus hingga tidak memperhatikan hal lain.
"Liam. Justin mengatakan aku akan sangat menyesal karena memilih Harold daripada dia. Menurutmu yang dulu sama-sama satu SMP dengan kami, bagaimana?"
"Kamu tahu aku tidak mau ikut campur dalam urusan hati orang lain. Tapi, jika Justin mengatakan seperti itu, mungkin dia memang punya alasan."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVEHATE AFFECT
RomanceLeora benci berurusan dengan Harold dan begitu juga Harold, tapi jebakan di alam semesta menyebabkan mereka bersatu. . Leora sangat membenci Harold, sifatnya yang angkuh, angkuh, sikapnya yang angkuh, dan sikapnya yang angkuh. Dia tidak ingin pria s...