Affect | 06

17 3 0
                                    

Malam begitu sepi dan membosankan di kamar, jadi aku pergi ke lantai dasar dan menemukan banyak mahasiswa bersantai di beberapa fasilitas asrama. Aku memutuskan untuk masuk ke kedai dan menemukan Harold lagi bersandar di kursinya, dia mengoceh dengan begitu sombong sampai matanya berpindah padaku dan bibirnya berseringai seakan menyukai kehadiranku di sini.

Dia duduk di dekat kasir membuatku terpaksa melewatinya, ada suara siulan menggoda dari arahnya membuatku cukup meremang. Teman-temannya tertawa dengan bertepuk tangan seakan apa yang dilakukan Harold begitu menakjubkan. Aku memesan dan pekerja kasir menyerahkan pada barista saat Harold berpindah ke sampingku, tanpa jarak. Tangannya merangkul siku gips seakan mengancamku. 

"Aku mengadakan pesta malam ini, kamu mau ikut?" Harold mengundangku, tapi aku mendengar tawa mengudara. "Ah! Kamu pasti sudah memiliki rencana sepanjang malam yang membosankan dengan pacarmu itu, kan?"

"Apapun yang aku lakukan, bukan urusanmu!" Aku berbicara dengan menunggui pesananku tak sabaran, pandanganku terus lurus walaupun perasaanku berkecamuk tak karuan. "Kalau tak ada urusan lain, kembalilah dengan teman-temanmu!"

"Kamu keterlaluan!" Aku bergidik ngeri pada ucapan dramatis darinya. Dia menggenggam dada karena aku tahu dia pasti melakukannya, juga dari tangannya lepas dari lenganku. "Aku ingin menemanimu, bagaimana jika seseorang menyakitimu?"

"Aku rasa jika itu terjadi, kamulah pelakunya!"

Aku mendesis sebal, menahan emosi sedemikian rupa agar tidak memancing keributan. Aku menepis lengannya yang berusaha memberikan kartu hitamnya dan merebut pesananku datang dengan kepulan amat tebal. Namun perbedaan tinggi badan kami dan gerakannya dadakan membuatku terpeleset di tempat sebelum tangan bebasnya menangkap punggungku dan menarikku padanya, badanku terpental ke dadanya dan dahiku membentur keras.

"Kamu tidak pernah hati-hati, ya!" celetuknya tanpa melepasku, badan kami menempel erat membuatku sesak dan yang paling kutakuti ialah suara jantungku terdengarnya walaupun cukup mustahil. "Kuakui semua rencanamu padaku, tapi kamu tahu? Pada akhirnya kamulah yang takluk padaku."

Napasnya terasa sangat hangat di telinga kananku, helaannya begitu tipis, campuran serak membuatku kembali merinding, dan kekehan samar membuatku merasa sangat tersinggung. Aku dengar desas-desus meramaikan kedai dan aku berusaha keras untuk lepas darinya walaupun sulit hanya dengan satu tangan.

"Dapatkan dia, Boyish!" salah satu temannya berseru amat keras sambil bersiul panjang, teman lainnya sama bersiul pada kami. "Cium dia!"

"Iwuh! Ogah!" Aku memekik nyaring dan Harold malah tertawa keras. "Aku tidak sudi melakukannya denganmu!"

"Benarkah? Aku paling handal dalam melakukannya, loh!" Dia berbisik sensual membuatku sangat merinding, jemarinya lari di kulit leher membuatku merasa sangat kepanasan dan refleks menyingkirkan tangan jahil. "Kamu akan menyesali ucapanmu itu, Sayang!"

Aku bergidik ngeri dengan menyentak tanganku dengan besar harapan bisa lepas, tapi gagal. Dialah yang melepasku dan kami menjadi sangat canggung. Mungkin cuma aku hanya merasakan karena Harold tidak punya urat malu, dia bahkan bisa tertawa seakan temannya hanya membuat candaan tentang mengejar dan menciumku.

"Semuanya, besok akan diadakan pesta besar penyambutan mahasiswa baru jadi datanglah ke tempatku besok dengan pakaian terbaik dan bersenang-senang sepuasnya!" Harold berteriak sangat lantang dan aku tahu dia ingin memamerkan kekuasaannya di kedai ini, di hadapanku. Dua tangannya memeluk dari samping, napasnya mengenai telingaku dan itu sangat membuatku gelisah. "Aku mengundangmu secara khusus jadi datanglah!"

Bisikannya membuatku benar-benar merinding, dia melepasku dan pergi melupakan diriku yang mematung di tempat. Senyum puasnya tampak begitu jelas, tapi otakku terlalu berkabut untuk mengambil tindakan seperti menamparnya.

LOVEHATE AFFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang