Affect | 09

20 2 0
                                    

⚠️ EXPLICIT WORDS ⚠️

Suasana frat house semakin meriah dengan banyak remaja yang menikmati pergantian malam dengan alunan musik beat dari DJ. Aku tidak mempermasalahkan karena telingaku mulai terbiasa dengan riuh pikuk pesta dan Harold berulangkali membuatku terbuai dengan kecupan juga sentuhan lembut di spot sensitif membuatku menginginkannya lagi dan lagi. Anggap saja malam ini tidak ada permusuhan di antara kami.

Aku tidak lagi bergantung pada Milla, aku akan mengakhiri kesenanganku kapanpun aku ingin pulang. Beruntung tidak ada yang menggangguku dengan dering telepon, aku bisa menikmati hidup sepuasnya. Badanku menjadi berat, pandanganku berputar seiring banyak nyeri di segala sisi kepala. Perlahan kutaruh kepalaku di otot bisepnya, begitu besar dan kekar. Kekecewaan melanda begitu dia mendorong kepalaku dari bahunya sehingga jatuh ke meja bar, kulihat dirinya bangun dengan wajah begitu murka.

"Apa aku sudah sangat keterlaluan, ya?" Aku bertanya padahal bukan itu yang kumaksud. Pandanganku  mengabur dan badanku tak cukup kuat untuk bangun. Dia tidak menjawab dan hanya mendekatiku, dua tangan kekarnya memelukku erat, kecupan hangat kembali terasa di ceruk leher membuat badanku kembali merasakan gelayar begitu kuat. Tanganku mendorongnya paksa, tapi dia duduk di pangkuanku dan melingkari pinggangku dengan begitu kencang. Sesuatu begitu keras mengganjal di pusat paha dan aku tahu sebabnya. "Harold... Cukup...."

Harold mengangkat badanku tanpa mengurai pelukannya, dua tangannya menangkup bokong dan menekannya hingga sesuatu mengganjal celah paha. Tak ada yang mempedulikan bagaimana dia memindahkanku ke salah satu kursi yang ditinggalkan oleh perempuan pirang asing. Di hadapanku terdapat meja dapur panjang memenuhi dua sisi dengan bentuk huruf L dan sebuah meja panjang untuk sepuluh orang dengan beragam makanan dan ratusan gelas kertas berisi cairan hitam bergelembung kecil.

"Mau makan apa?" Harold menawarkan sesuatu dan aku menggeleng. Dia melambai tangan dan menyambut kehadiran lelaki yang kuingat bernama Louis. Aku sedikit banyak lupa karena hanya sedikit mendengar namanya. "Ini Leora. Gadisku." Harold berkata setelah menjelaskan panjang lebar suatu hal yang tidak bisa kupahami. Kepalaku semakin memberat. "Leora, ini adalah temanku yang paling kecil. Namanya Louis." 

Aku mengulum bibir, menahan diri untuk tidak salah tingkah walaupun satu katanya memporakporandakan isi hatiku. Kuharap wajahku tidak aneh dan memuakkan. Louis melirik Harold, manik birunya sehangat Niall, tapi wajahnya memiliki lebih banyak ekspresi.

"Akhirnya tiba waktunya si Keriting ini memperkenalkan ceweknya!" Louis bersorak gembira, dia memanggil nama Niall dan Liam yang membuatku bertambah kaget. Mereka datang sangat cepat membawa wajah antusias yang bertambah kegembiraan. "Mereka Niall dan Liam, teman kami!"

"Kami sudah kenal, kok! Luar biasa, kan?" Niall mengoceh sangat bangga dan mengacungkan tanda damai. "Dia lebih cantik daripada di foto. Gaya bajunya juga sangat modis! Ini mah Harold aja yang pengen kita gak naksir ama gadisnya!"

Harold tergelak keras, tangannya semakin mempererat pelukan dan aku merasakan nyeri di siku akibat gips terkena pinggang kekarnya. Aku tak bisa mengontrol ekspresi dan Niall menyadarinya.

"Hei, kalian bisa meminum coca cola dan mencoba masakan Liam, dia tidak bisa menyimpan semua itu di kulkas jadi silakan!" Niall mengajakku dan Harold, tapi dia hanya menarikku membuatku terlepas dari rangkulan dan menerima segelas, mulutku dijejali sepotong lasagna yang dipotong kecil dari wadah raksasa dengan panjang dan lebar sebesar tiga puluh senti. "Gimana?"

"Umm, enak!" Aku menjawabnya kepayahan, hampir saja aku tersedak dan segera menghabiskan coca cola di tangan. Aku menggeleng sambil menolak potongan lasagna lainnya. "Makasih, tapi aku tidak terbiasa makan malam."

"Yah! Padahal ini semua begitu lezat!" Niall mengeluh dengan wajah sangat kecewa. "Lagi, ya? Kamu harus coba yang ini juga!"

Harold menghampiriku dan melahap potongan itu, dia terbahak padahal Niall menepuknya lumayan kencang. Aku ikutan terbahak sampai melihat Justin ada di tengah ruang tamu yang diubahnya jadi area klub malam, dia berkeliling dengan wajah begitu gemas dan aku spontan bersembunyi di dada Harold.

LOVEHATE AFFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang