Affect | 39

25 0 0
                                    

Seusai perkuliahan, aku janjian dengan Milla. Dia -- Harold -- fokus di sampingku, sibuk mencatat materi di papan tulis dan membubuhkan poin tambahan yang hanya dijelaskan secara lisan.

Aku sangat gugup untuk menyampaikan kabar baik padanya, mungkin buruk, tentang Kennie mendaftarkanku dan Milla di tim cheerleader kampus. Kennie baik dan dia temanku, tapi aku takut dia tersinggung karena Kennie adalah salah satu mantannya. Aku juga takut dia berpikir aku mendapatkan tekanan dari salah satu mantannya agar aku bersedia menjadi anggota, padahal aku ingin mengulang masa kejayaanku sebagai flyer.

"Hei?" Kejut Harold, aku hampir mati serangan jantung karenanya. Napasku tersengal-sengal. Dia memandangiku prihatin. "Apa ada masalah? Aku lihat kamu banyak bengong."

"Itu...."

Panggilan telepon datang menyelamatkanku, dia pamitan untuk mengangkat dan mengobrol sopan. Aku tidak pernah melihatnya memilah kata dan merendahkan suara bass hingga terdengar serak. Aku tidak ingin memikirkan dan menunggunya kembali dengan bibir manyun.

"Ibuku memintaku untuk pulang. Kamu mau ikut ke sana?" Perjelasnya seolah membaca isi pikiran. "Kamu tidak perlu takut kelelahan, rumahku tidak jauh."

"Aku ikut. Tapi bukankah Wander House itu juga rumahmu?" Tanyaku belum memahaminya.

"Wander House masih dalam tahap pembayaran, aku mencicil tiap tahun. Kalau di Chester, tempat tinggalku dan ibuku sampai lulus high school." Jawabnya dengan senyum simpul.

"Berarti kamu baru tinggal dengan mereka? Lalu kapan Zain pergi?" Tanyaku lagi. Mata tajamnya menghunusku dengan rahangnya mulai mengeras. "Aku hanya ingin tahu. Maaf."

"Kami tinggal bersama selama persiapan ujian hingga... Aku tidak ingat detail tanggalnya, tapi masih satu hari yang sama saat aku pertama kali menemukanmu dan ibumu juga si NYU palsu itu." Jawabnya jujur.

"Benarkah? Saat itu kamu sangat sehat!" Seruku agak memekik. "Kamu serius? Liam bilang kamu pernah mogok makan selama seminggu."

Dia mendesis sebelum menyemburkan tawanya sekeras-kerasnya. Aku bergidik ngeri melihatnya seperti kerasukan arwah penasaran.

"Dan kamu mempercayainya? Oh, Jesus! Aku memiliki perempuan sangat polos!" Pekiknya masih dengan tawa menyembur keras.

"Memangnya kenapa? Liam adalah teman masa high school. It's so legendary, so high school." Balasku sedikit kesal. "Aku juga pernah tertarik padanya karena dia baik dan bijak. Dia tidak bohong seperti dirimu."

"Sepertinya sosok Liam yang kamu maksud telah tertinggal mati di saat kelulusan karena dia mulai menyembunyikan dan sering melebih-lebihkan informasi yang dia miliki," Katanya, mengesalkan.

"Mari kita lupakan Liam sejenak dan katakan apa yang terjadi saat Zain mengangkat kakinya dari Wander House? Kamu mengamuk?" Tanyaku menerka-nerka.

"Semua yang kamu alami. Semuanya," jawabnya.

"Jadi kamu nggak mogok makan?" Tanyaku lagi, membeo. "Kamu langsung menemukanku untuk melampiaskan emosimu?"

"Tidak! Aku berjalan-jalan untuk mencarinya, tapi aku mendengar tuduhan menyakitkan. Itulah yang menjadi sebab aku hampir memukulimu dengan tongkat baseball."

"Lalu di mana tongkat itu?"

"Di lemari bajuku. Aku tidak membutuhkannya karena ada kamu yang menenangkanku."

Rasa terharu menyelimutiku sesaat sebelum sedih memikirkan reaksinya jika aku menyembunyikan fakta besar darinya. Namun aku belum siap untuk menyampaikannya. Aku membawa Harold pergi setelah dia selesai mencatat dan menyimpan buku dalam tas.

LOVEHATE AFFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang