berhasil?🍁

10 3 3
                                    

Redwis tersenyum mendengar perkataan pria kekar di depannya, membuat Turbes mengangkat dua alisnya, heran.

Redwis bersandar pada sofa yang tengah dia duduki, kakinya bertumpu pada satu kakinya yang lain. Pria itu terkekeh, terlihat sombong. "Apa anda baru saja mengancam saya baron Turbes?"

Turbes mengerutkan alisnya tak senang, "seorang duke Billmost yang terhormat berselingkuh dengan istri Viscount. Bukankah itu menurunkan derajat anda yang di pandang hebat oleh rakyat? Saya hanya ingin mencoba memberi arahan pada anda agar masalah ini tak merembet kemana-mana."

"Arahan? Arahan seperti apa? Seorang baron yang merupakan bangsawan rendah secara lancang datang ke sini? Lalu mengatakan padaku agar berpisah dengan kekasihku? Bukankah itu lebih lancang?" Redwis tersenyum yang terkesan merendahkan bagi Turbes.

Pria besar itu mengepalkan kedua tangannya dengan wajah yang mengeras, menahan marah pada Redwis yang secara kasar menghinanya.

"Tapi duke, percayalah. Jika anda terus berhubungan dengan istri vincount, anda akan terkena masalah dan saya sudah memperingatkan anda sebelumnya agar mengakhiri hubungan kalian, tapi anda malah menolak dan merendahkan saya maka saya tidak akan bertanggungjawab atas apa yang akan terjadi nantinya."

Redwis menegakan punggungnya, "saya tidak peduli karena saya sangat mencintai wanita saya," kata Redwis dengan penuh kesombongannya.

"Duke jika anda sekeras kepala ini, maka maafkan saya nantinya," ujar Turbes secara tersirat.

Redwis menghela nafas, dia memainkan telunjuknya dengan mengetuk-ngetuk dengkulnya sendiri. "Sebenarnya kenapa anda begitu gigih ingin saya mengakhiri hubungan saya dengan Astoria? Apa ada sesuatu yang penting di balik itu?"

Tubuh Turbes tiba-tiba menegang, wajahnya terlihat tak setengah sebelumnya. "Saya hanya khawatir pada reputasi anda sebagai duke."

"Benarkah? Bukan sebaliknya? Saya dengar anda dekat dengan vincount? Apa karena Astoria istri vincount dan anda tidak mau teman dekat anda sedih makanya anda dengan inisiatif anda sendiri datang ke sini? Bukankah itu lebih masuk akal ketimbang anda mengkhawatirkan saya?" Redwis tersenyum ketika melihat wajah Turbes terlihat panik, jelas pria itu tidak memikirkan secara matang atas tindakannya barusan.

Redwis berdiri, menatap Turbes dengan tatapan tajam mengintimidasi. "Ketahuilah tuan baron, sebenarnya akulah yang lebih memegang kendali di sini," kata Redwis secara tersirat. Dia lalu berjalan menuju pintu, sebelum benar-benar membuka pintu Redwis berhenti dan membalikkan sedikit punggungnya ke belakang.

"Saya harus mengerjakan sesuatu yang penting, jadi maaf tidak bisa mengantar anda dengan baik." Kemudian pria itu benar-benar pergi.

Dalam ruangan, wajah Turbes terlihat kesal. Dia berdiri dan langsung melangkah keluar, di luar dia bertemu dengan tangan kanan Redwis. Pria kekar itu melewatinya dengan ekspresi wajah kesal yang tak bisa di sembunyikan. Si tangan kanan Redwis berbalik, mengikuti Turbes untuk mengantarnya sampai ke depan kediaman duke.

Beralih pada Redwis yang masuk kamarnya, pria itu sedang cemas sekarang. Pikirannya terus tertuju pada Astoria semenjak kehilangan kabar dari perempuan itu, apalagi hal mengganjal seperti baron Turbes yang tiba-tiba datang ke rumahnya lalu menyuruhnya untuk mengakhiri hubungannya dengan Astoria semakin membuat Redwis khawatir. Dia takut terjadi sesuatu dengan perempuan itu.

Mengambil jubah hitam yang di gantung di ruang gantungan, Redwis memakainya lalu pergi lewat jendela. Melompat dari ketinggian ke atas pohon yang tumbuh di dekat kamarnya, lalu turun dengan begitu mudahnya.

Redwis berniat pergi ke tempat perjodohan, bukan untuk mencari jodoh, Redwis memiliki niat lain ke tempat itu.

Dari depan bangunan yang memiliki plang bertuliskan biro jodoh dengan bangunannya yang di cat warna hijau tua, tempat itu terlihat ramai hingga membuat Redwis agak ragu untuk masuk. Namun dia tetap melangkahkan kaki ke sana meski mendapat tatapan penasaran dari banyak orang.

Untungnya, pegawai pria yang mengenalinya segera menyeretnya ke ruang khusus. Di sana ada beberapa pegawai yang sedang istirahat. Redwis di persilahkan duduk, dia membuka tudungnya tanpa rasa waspada di tempat itu.

"Ada sesuatu yang perlu saya bantu? Sampai-sampai anda repot datang ke sini?"

"Apa kau tau infomasi tentang kediaman vincount? Aku memerlukannya."

Pegawai pria itu mengerutkan alisnya, "kalau itu saya tidak bisa mengatakannya karena di luar pekerjaan saya."

__________________________________________

"Tidaaaak!"

"Kenapa kau berteriak? Aku ini suamimu. Sudah sewajarnya aku menyentuhmu'kan." Ignatius menarik lengan Astoria sampai perempuan itu jatuh ke pelukannya. Tangan besar pria itu mengelus rambut merah jahe Astoria dari akar sampai ujung.

"Aku baru sadar jika istriku sangat menggoda," bisiknya di telinga Astoria. Ignatius tersenyum saat melihat telinga dan wajah perempuan itu memerah, ketika dia akan menggigit telinga itu tiba-tiba Astoria mendorongnya begitu keras.

"Jangan pernah menyentuhku!!" marah perempuan itu, sampai-sampai tubuhnya bergetar dan rahangnya mengeras.

"Kenapa? Bukankah ini yang kau inginkan?" Ignatius menarik tali yang mengikat jubahnya, memperlihatkan perutnya yang terbentuk sempurna. Otot-ototnya keras dan begitu indah hingga tergoda untuk menyentuhnya, meraba dan mengabsen satu persatu setiap otot yang tercetak di perutnya.

Ignatius mendekat dengan langkah pelan, meraih tangan Astoria dan membawanya ke dadanya. Menyentuh area di mana jantung berdetak.

"Kau bisa merasakannya bukan?" katanya merasakan tangan Astoria bergetar di dadanya.

"Sentuhlah aku sepuasmu. Seperti yang kau inginkan," kata Ignatius dengan suara pelan yang sensual. Perlahan tangannya meraih pinggang Astoria dan menariknya halus, kali ini tidak ada penolakan dari perempuan itu. "Ayo kita lakukan seperti yang kau inginkan."

Ignatius mendongakkan kepala Astoria, bisa dia lihat tatapan mata perempuan itu berbeda. Dari tatapan matanya, Ignatius tahu jika istrinya itu menginginkannya. Mereka bertatapan cukup lama, Ignatius rasanya bisa terjebak permainannya sendiri karena wajah Astoria terlihat menggoda.

Baru kali ini dia merasakan keinginan untuk menyentuh perempuan itu, hanya dengan menatap matanya saja keinginan itu bergejolak begitu keras hingga dia ingin melahap habis bibir merah mudah perempuan di depannya.

Wajah Ignatius semakin dekat bahkan ujung hidung mereka saling bersentuhan, rasanya Ignatius tidak bisa memalingkan tatapan matanya dari wajah Astoria yang ekspresinya seolah mengatakan ingin di sentuh olehnya. Pada detik berikutnya, bibir mereka saling bersentuhan. Ignatius seolah merasakan ada serangan listrik yang mengalir pada tubuhnya, dia terkejut kemudian terpaku dengan bibir  mereka yang masih bersentuhan.

Ignatius baru merasakan perasaan seperti terbang di antara bunga setelah sekian lama, dia memejamkan matanya menikmati sentuhan bibir mereka.

"Sekarang!"

"Apa?"

Ignatius terkejut saat Astoria mendorongnya dan berlari keluar kamar yang memang tidak dia kunci, setelah sadar akan apa yang terjadi, dia ikut berlari mengejar Astoria yang sudah jauh.

"Tangkap perempuan itu!" Teriaknya pada seluruh orang di rumah itu. "Jangan biarkan dia lolos!" Ignatius masih mengejar Astoria yang sudah keluar rumah, perempuan itu berlari menuju gerbang yang tertutup, di sana juga ada dua penjaga yang siap mencegatnya.

Lagi-lagi Ignatius harus di buat terkejut saat Astoria yang memakai gaun bisa melewati dua penjaga itu dengan mudah dan naik ke atas pagar lalu melompat meski harus merobek gaunnya.

"Bagaimana dia bisa?" Ignatius hanya bisa menggumamkan kalimat penuh pertanyaan itu.

MENGHENTIKAN PEMBERONTAKAN.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang