Jeno melihat makhluk temuannya memakan dengan lahap, bahkan hampir tersedak karena Jeno lupa memberinya air.Awalnya, Jeno tidak tau kalau makhluk mungil yang tingginya hanya sebatas dadanya tersebut menyukai sayuran mentah. Jeno hampir saja memasaknya, mau di oseng tuh carrot sama sawi nya. Di tambahin potongan tempe lagi.
Kurang bertanggung jawab gimana coba? Beruntung nggak di masakin rendang.
"Nyanya suka, ini semuah punya Nyanya!"
"Udahlah tinggal makan, nanti kamu keselek mampus"
Kedua mata Jeno tentu saja selalu menatap bagaimana mulut tipis Nana mengunyah, Nana melirik ke arahnya seakan ia takut bahwa makanan yang begitu lezat tersebut sampai jatuh ke tangan lelaki bongsor di depannya.
"Kamu mau inih??" Nana memberikan potongan sawi yang sudah tergigit.
"Nggak, gue bukan Jenovora! Masa makan makanan mentah, enakan juga dibikin urab!"
Jeno, paham sudah! Makhluk yang ia temukan ini tidak suka di katain kasar, ya walau mulut Jeno kalo ngomong suka nyablak kagak ngotak,—seenggaknya kalo sama Nana harus bener-bener bisa ngontrol.
Takut ilang soalnya, nemuinnya kan butuh perjuangan. Ya siapa tau ya kan, nantinya bisa di persunting jadi istri.
"Mommy itu apah??"
Jeno menghela nafas berat. "Mommy itu, emak gue!"
"Emak?? Itu ohoooo!! Mama!! Nana punya mama"
"Terus, kenapa kamu di buang di dalam kardus? Gimana cerintanye?!"
Nana menyatukan dua telunjuknya, cara ia duduk sama seperti seekor kelinci pada umumnya. Dengan paha tertekuk, dan juga telapak kakinya yang tidak bisa diam.
"Nyanya,, euhhmm"
"Kok malah nangis? Aku nanya bener-bener loh" benar saja, kedua mata Jaemin telah di penuhi oleh embun.
"Nyanya anak haram"
Jeno melongo, mengusap rambut lepek Nana lumayan kuat.
"Kasihan, minimal kalo mau bikin anak tuh ayah sama mama kamu harus sah dulu" —ya emang kagak ngaca, Jeno sendiri gudangnya blue film.
"Nyanya kangen ayah, Nono bisa anterin Nyanya ke rumah ayah??"
Nana melompat ke pangkuan Jeno, memberikan tatapan permohonan padanya. Kedua mata yang membulat di tengah-tengah kelopak mata sayunya membuat Jeno merasa iba dan mengusap ujung bibirnya. Bekas remahan sawi dan wortel.
"Rumah kamu dimana sih??"
"Di sana, jauh ada bibi sama paman yang jahat" Nana menunjuk langit-langit di kamar itu.
Jeno menengadah, melihat ujung telunjuk Nana yang memiliki kuku tajam serta bulu-bulu putih halus yang tumbuh bersemai di sana.
"Ada syaratnya,,"
"Syarat itu apa??"
"Ck! Haddooohhhh,, apa perlu kamu aku masukin paud dulu biar pinter? Udah sana pergi hussh, aku mau kerja. Bisa di babat nanti otongku sama si Jamal!" Jeno mengangkat tubuh ringan Nana pada keranjang, kemudian Jeno tutupi kepala Nana dengan menggunakan caping berukuran sedang.
"Aku gendong kamu, jangan berulah. Kamu ikut aku kerja, nanti aku kasih sawi sama carrot lagi. Mau?"
Nana mengangguk, kemudian tersenyum. "Terimakasih Nyenyo"
"Mbohlah karepmu, untung cantik. Coba aja kalo mingyu yang manggil aku kaya gitu, aku bisa gumoh paku!!!"
Nana tidak mengetahui ocehan Jeno, yang jelas kini tubuhnya terasa terbang ketika keranjang itu menjalin di punggung kekar Jeno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me Buna || NOMIN END
عاطفيةTentang sebuah karma,- ❤️ -angst #mpreg #notforchildren