18. Pulang

1.9K 125 36
                                    

Langit diminta untuk duduk lebih tegak. Perawat mengukur tensi atau tekanan darah dan Dokter John menekan stetoskop dibagian pinggang samping. "Tarik napas yang panjang... tahan." Senyum Dokter John terlihat melega. "Hembuskan pelan-pelan..."

Sejauh ini Langit melalui semua tes dengan baik. Bahkan alat bantu pernapasannya juga sudah dilepaskan pagi tadi.

"All is good. Respon peradangannya juga sudah sepenuhnya clear."

Langit menghembuskan napas leganya. Begitu juga dengan Lingga yang kali ini mendampingi visit siang sementara Kinar izin untuk mengurus keperluan pribadinya. Tim medis keluar dari ruangan dan Lingga beralih menyerahkan komputer tablet miliknya.

"Kenapa?" Langit menerimanya dan memeriksa laporan yang Lingga susun.

"Saya benar-benar nggak menyangka kalau Kinar—maksud saya Nona Kinar bisa segila itu kalau dilepaskan di pusat perbelanjaan. Nilainya benar-benar membuat saya sakit kepala."

Berbeda dengan Langit yang justru terkekeh santai menemukan nominal yang dihabiskan Kinar untuk sekali berbelanja. "Itu wajar karena kamu membawanya ke store favoritnya."

Lingga menggeleng masih dengan raut wajah muram, "itu jelas sebuah pemborosan. Untuk satu jenis pakaian saja dia menghabiskan gaji tahunan saya."

"Dia membayar dengan kartu yang mana?" Langit merasa perlu untuk memastikan hal tersebut. "Kamu menemaninya berbelanja, kan? Dia memang fasih berbahasa jerman tapi kalau sedang berbelanja seringnya melupakan sekitar."

"Tentu saja kartunya Pak Langit!" Ketus Lingga. "Saya benar-benar hampir jantungan menerima salinan tagihannya."

Kinar memang sangat hobi berbelanja dan Langit sedikit banyak tahu digit minimal yang akan dihabiskannya untuk per item nya. Dan jujur saja dirinya lebih senang karena tahu Kinar berbelanja menggunakan kartunya.

"Perempuan itu sesekali memang suka dimanjakan. Kamu nanti juga merasakannya sendiri."

"Sebagai adik perempuan? Atau... sebagai seorang kekasih?"

Langit tidak secara langsung menjawabnya melainkan hanya mengulas senyum tipis saja. Tidak tahu juga harus menjawab bagaimana karena selama ini, membelanjakan Kinar memang selalu dirinya lakukan. Seringnya di hari-hari besar tetapi mengingat beberapa hari ini sampai ikut tinggal untuk menjaganya di rumah sakit rasanya Kinar memang perlu untuk dimanjakan.

"Ng... Pak, setelah ini bagaimana?"

Langit menarik dan menghembuskan napasnya perlahan, "tentu saja bersiap untuk pulang. Bereskan semua pekerjaan disini dan minta Alvin untuk follow up perkembangan project di London. Tolong kamu hold dulu pekerjaan untuk satu minggu ke depan karana kemungkinan saya juga akan sedikit tertahan."

"Jadi Pak Langit sudah benar-benar memutuskan utuk menerima lamaran—maksud saya... menerima untuk menikah dengan Nona Kinar?"

"Kamu boleh memanggilnya Kinar saja, nggak perlu terlalu formal." Koreksi Langit yang menyadari Lingga nemang lebih nyaman seperti itu. "Masalah pernikahan itu... nanti masih harus saya bicarakan lagi dengan Papa Edwin dan Mama Ivana."

"Bagainana dengan keluarga Pak Langit yang lain? Mereka—" belum sempat Lingga membahas lebih jauh dan pintu ruang perawatan lebih dulu terbuka dengan sosok Kinar yang tersenyum-senyum senang.

"Loh... kok diem? Lagi ngomongin aku pasti," ujarnya dengan tatapan mata menyipit tidak serius. Langkahnya santai saja menuju Langit dan memeluk lelaki yang duduk menyandar pada bagian bed pasien yang ditinggikan. "Aku mandinya beredam tadi. Keramas juga pakai shampo baru. Wangi enggak?"

Interaksi semacam ini memang dinilai biasa saja. Kemanjaan Kinar kepada Langit yang seringnya tidak melihat situasi dan kondisi juga bukan merupakan hal baru. Sebelumnya Langit juga tidak pernah menegur atau merasa keberatan dan sekarang juga begitu.

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang