"Lingga..." suara lemas Langit terdengar.
Tidak lama Lingga yang memang berada di sofa duduk depan mendekat dengan menyibak tirai pembatas bed rawat Langit. Tatapan Langit mengedar dan mengamati sekeliling ruangan yang terlihat berbeda dari sebelumnya.
"Pak Langit sudah bangun? Mau saya panggilkan Dokter atau Kinar?" Lingga bahkan siap mengeluarkan ponselnya saat Langit akhirnya menggeleng.
"Saya dipindahkan?" Karena keseluruhan ruangannya memang berbeda, akhirnya Langit sampai pada kesimpulan bahwa selama dirinya terlelap tadi, dirinya kembali dipindahkan. "Rumah sakitnya juga?"
"Hanya pindah ruangan saja, tapi masih ada di lantai dan rumah sakit yang sama. Ruangan Pak Langit yang sebelumnya sedang dirapihkan."
"Dirapihkan?" Langit merasa tenggorokannya serak sehingga mengulurkan tangan untuk dibantu meninggikan posisi bed nya. "Memangnya kenapa?"
Lingga mengusap belakang tengkuknya yang merupakan satu kebiasaannya saat sedang bingung. "Ng—itu... Kinar yang mengatur sebenarnya. Semua perawat dan tim dokter yang menangani Pak Langit juga diganti, terus... di luar juga ditempatkan beberapa pengawal."
Wahah Langit terlihat begitu serius mendengarkan. "Dimana Kinar?" Langit berusaha untuk tidak menuntut jawaban macam-macam dan memang sepertinya hanya Kinar yang bisa menjawabnya.
"Kinar... dia sedang bersiap-siap. Maksudnya, dandan." Kembali Lingga mengusap belakang lehernya. "Pak Edwin juga tadi ada sisini. Menunggu lama, tapi karena Pak Langit belum bangun juga akhirnya menyusul Kinar dan Bu Ivana."
Sejujurnya kepala Langit masih terasa sedikit pusing sekarang. Belum lagi tubuhnya yang lemas luar biasa dan kaku untuk digerakan. Entah sudah berapa lama dirinya terbaring tidak sadarkan diri karena dalam ingatannya, dokter selalu memberikan obat melalui suntikan setiap kali dirinya terbangun dan mengerang kesakitan.
Beberapa hari ini memang kesadarannya sering timbul tenggrelam dan Langit merasa sangat tidak berguna karena tidak mampu mempertahabkannya untuk sekedar mengatakan pada Kinar bahwa dirinya baik-baik saja. Satu dua kali, Langit bahkan mendapati Kinar menangis disisinya meski itu samar.
"Tolong antarkan saya keluar. Saya mau bertemu dengan Kinar." Langit baru menumpu sikut saat kembali terhempas lemah.
"Tolong hati-hati, Pak." Lingga segera menopang tubuh Langit agar berbaring kembali. "Pak Langit masih harus banyak istirahat. Dan juga... saya ditugaskan Kinar untuk menjaga Bapak. Jadi, jangan terlalu memaksakan diri."
Rasanya memang terlalu egois kalau Langit tetap bertindak keras kepala dengan memaksakan diri padahal jelas-jelas tubuhnya tidak mampu digerakan secara leluasa. "Berapa lama saya nggak sadar?"
"Tiga hari. Kemarin sempat drop lagi, tapi dokter sudah mengatakan kalau kondisi Pak Langit mulai stabil."
"Tiga hari?!" Langit begitu saja terjekut. Kepalanya berhitung cepat sebelum akhirnya menggeleng dengan panik, "kalau benar tiga hari itu berarti...."
Lingga menggeleng, "masih belum terlambat. Dokter juga sudah memberi izin karena kondisi Pak Langit yang membaik. Bajunya... ada disana."
Tatapan Langit mengikuti arah dimana Lingga menunjuk sebuah stelan jas yang masih terbungkus dalam pelapis jas. "Itu..."
Lingga mengangguk. Sesaat kemudian ketara sekali mendengus, "karena Kinar terus merengek dan mengancam macam-macam, jadi Pak Edwin terpaksa—"
"Jangan bicara begitu," tegur Langit yang mulai menguasai diri dari keterkejutan. "Kinar pasti nekat begitu karena mengkhawatirkan saya..."
Sebenarnya sudah menduga kalau Langit pasti akan selalu membela dan memaklumi apapun yang Kinar lakukan. Tapi tetap saja rasanya Lingga akan selalu merasa kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Mas Langit [END]
RomansaDi hari pernikahannya, Kinara Laurasia Mahardika mengetahui fakta bahwa Rega-calon suaminya ternyata berselingkuh. Alasannya sangat mengejutkan, bahwa seama 7 tahun mereka berpacaran Kinara hanya membatasi pelukan atau sekedar ciuman di pipi. Bagaim...