"Aku seka badannya ya, biar lebih nyaman kamu istirahatnya."
Gerakan tangan Atiana dalam mentaptap begitu lembut. Towel berbahan handuk lembut diusapkannya demi membuat Langit tetap nyaman. Bebat di kepalanya masih belum boleh dilepaskan dan Atiana sangat berhati-hati dalam merawat Langit selama ini.
"Wah... Dokter Tia sangat perhatian ya sama Mas nya. Saya yakin kalau menikah nanti pasti Mas nya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan Dokter Tia yang nggak cuma cantik tapi berkarir sukses juga."
Senyuman tipis Atiana ulas, "nggak sampai seperti itu juga. Tapi... sebenarnya saya yang beruntung kalau mendapatkan Langit."
Terlihat sekali dari tatapan yang Atiana berikan kepada Langit bahwa betapa besar dirinya menyukai lelaki yang saat ini masih terlalu lemah untuk sekedar membuka matanya tersebut. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa Atiana begitu menikati waktunya yang tidak lama ini untuk merawat Langit.
Seandainya saja...
"Kalau begitu, kapan rencana pernikahannya? Saya rasa Bu Agrani akan sangat senang. Beliau sudah lama menantikan dimana Dokter Tia juga bisa menikah dan menemukan seseorang sebagai teman hidup."
Setiap mengingat permintaan ibunya tersebut, entah selebar apapun senyuman yang dirinya tunjukkan tetap saja ada perasaan mengganjal di dalam hatinya. Tentang keinginanya juga rasa cintanya yang mustahil akan terbalas. Tapi... dengan kondisi Langit yang melemah seperti ini apakah boleh dirinya berharap?
"Ibu saya bercerita begitu?"
Perawat yang memang cukup mengenal dirinya dan sang ibu tersebut mengangguk dengan antusias. "Bu Agrani menjadi lebih bersemangat dan Dokter Adam juga positif kalau hal ini berpengaruh baik untuk kondisi kesehatan Bu Agrani."
Itu adalah dilema terbesarnya sekarang. Tujuan dan niat awalnya membawa Langit adalah untuk menyelamatkannya dari rencana pengambilan sample yang akan dilakukan oleh kedua kakaknya. Tidak ada niatan sama sekali untuk menyembunyikannya selama ini. Bahkan... sampai bermimpi untuk merencanakan pernikahan.
Langit jelas-jelas menolak perasaannya. Lebih dari itu, lelaki yang dicintainya ini sudah menikah dan pilihannya bukanlah dirinya. Sampai tiba-tiba Tuhan memberinya sebuah kesempatan. Apakah boleh?
"Suster, tolong ganti airnya. Pastikan jangan terlalu panas karena dia cukup sensitif." Atiana mengembalikan wadah air yang segera diambil alih oleh perawat.
Ketika kembali dengan wadah air dan towel yang baru, Atiana sudah selesai melepasi kancing pakaian atas Langit. Tanpa canggung sama sekali mengusapi bagian dada hingga perut. Lalu merangkul tubuh Langit yang lemas untuk menyelipkan towel dan mengusap punggung.
"Terima kasih, suster."
Selimut Langit disingkap dan khusus untuk bagian bawah tubuh, Atiana hanya berani menyingkap tungkai kaki. Tidak sampai sekurang ajar itu adal membuka celana Langit. Hal yang langsung menuai pujian dari perawat bahwa Atian begitu hati-hati dan lembut dalan mengurus calon tunangannya tersebut.
Oxymeter dipasangkan kembali dan kedua tungkai kaki hingga telapaknya dibaluri dengan menggunakan minyak yang berfungsi untuk melancarkan peredaran darah Langit. Atiana menekuri kegiatannya tersebut sampai erangan serak kembali terdengar dari Langit.
"Hngghh..."
"L-langit, kamu bangun?"
Kerjapan lemah yang Langit tunjukan disambut oleh Atiana dengan luapaan kelegaan. Ketika akhirnya Langit mampu menggerakan kepalanya dan menemukan Atiana dihadapannya, kerutan keningnya terlihat dalam.
"Aku senang kamu bangun. Kamu bisa lihat aku?" Tangannya mengelus pipi. "Ini aku, Tia."
Bibir Langit dibalik masker oksigennya bergerak-gerak tanpa arti. Uap tebal bergumul dan buku-buju jarinya mulai bergerak. Atiana meremasnya untuk memberikan penguat stimulus kepada Langit.
"Suster, tolong panggilkan dokternya!" Gumam Atiana tanpa melepaskan pandangannya dari wajah linglung Langit. "Lang, hei... fokus sama aku, oke?"
Itu karena bola mata Langit tetlihat mulai berotasi dan sesekali akan mengejang keatas. Atiana merungkup wajah Langit lembut dan berusaha untuk mendapatkan fokus dari Langit demi mempertahankan kesadarannya.
"Ehhnhhh... enhhh..."
"Ini aku, Lang." Gumam Atiana yang terus mengelusi pipi Langit dalam jarak wajah yang dekat. "Pelan-pelan.... aku tahu kamu bisa."
"Henghh... enhh-haar...."
Langit terlihat mengerjap-ngerjap dan Atiana yang melega tidak kuasa untuk memeluknya. Kedua lengan Langit yang berada disisi tubuh menunjukkan pergerakan meski masih sangat lemah. Dirinya pun hanya diam dan menerima ketika Atiana masih terus memelukinya.
"Aku lega kamu bangun. Kamu... nggak akan tahu betapa khawatirnya aku,"
■■□■■
CERITA INI SUDAH PERNAH DITAMATKAN DI WATTPAD DAN PART LENGKAP ADA DI KARYAKARSA
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Mas Langit [END]
RomanceDi hari pernikahannya, Kinara Laurasia Mahardika mengetahui fakta bahwa Rega-calon suaminya ternyata berselingkuh. Alasannya sangat mengejutkan, bahwa seama 7 tahun mereka berpacaran Kinara hanya membatasi pelukan atau sekedar ciuman di pipi. Bagaim...