Chapter 03

77 9 31
                                    

"Kata orang setelah hujan pasti akan ada pelangi, tetapi mereka lupa jika tidak semua hujan menjanjikan pelangi setelahnya."

- Gerhana Madana Pradigta -

***

"Nek, Nenek enggak apa-apa?" tanya Gerhana khawatir, sejak kemarin neneknya terus batuk-batuk dan mengeluh pusing kepala.

"Astaga, Nek. Badan Nenek panas sekali." Gerhana begitu khawatir ketika mengetahui neneknya sedang demam tinggi.

"Gerhana telepon Papa dulu, Nek."

Gerhana meraih ponselnya lalu mengetikan nomor papanya, tak butuh waktu lama panggilan itu langsung diangkat oleh Bara.

"Pa, Nenek sakit. Badannya panas tinggi, Papa cepat ke sini, ya," jelas Gerhana dengan nada paniknya.

"Baiklah, Papa akan segera ke sana," jawab Bara dibalik telepon.

Namun, sudah beberapa jam berlalu. Tetapi, Bara tak kunjung datang, Gerhana sebisa mungkin merawat dan mengompres neneknya untuk menurunkan panas.

"Nek, Gerhana enggak mau nenek kenapa-napa. Nenek cepat sembuh, ya," ucap Gerhana.

"Gerhana sayang, kalau nanti Nenek udah enggak ada. Kamu harus jaga diri kamu baik-baik ya, kamu harus jadi anak yang kuat dan mandiri." ucap sang nenek dengan suara parau.

"Enggak, Nek, nenek nggak boleh ngomong gini. Nenek enggak akan kemana-mana, Gerhana cuma punya Nenek, kalau Nenek juga ninggalin Gerhana, Gerhana sama siapa, Nek? Gerhana enggak punya siapa-siapa lagi selain Nenek," ucap Gerhana terisak, ia tidak bisa menahan air mata yang keluar begitu saja.

"Kamu pasti bisa sayang," ucap Sulastri disisa nafas terakhirnya, sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan cucunya seorang diri.

Melihat kondisi neneknya yang sudah menutup mata, dan tidak bernafas. Gerhana semakin menangis sejadi-jadinya, dunianya seakan hancur, hidupnya hilang harapan untuk bertahan hidup. Selama ini neneknyalah alasannya untuk tetap bertahan dan kuat menjalani hari-hari tanpa kasih sayang dari kedua orangtuanya. Sekarang, satu-satunya harapan itupun ikut pergi meninggalkan dirinya seorang diri. Gerhana benar-benar hancur.

"Nenek!" panggil Gerhana terisak.

"Jangan tinggalin Gerhana, Nek." ucapnya, ia tahu jika ucapann dan tangisannya tidak akan merubah kenyataan, jika neneknya sudah tiada.

Bara yang baru saja sampai, ikut sedih mendengar kabar jika ibu mertuanya telah tiada, jika saja ia lebih cepat kemari mungkin ibunya masih bisa diselamatkan.

Bara memeluk tubuh Gerhana, berusaha menguatkan anaknya, ia tahu jika saat ini pemuda itu sangat terpukul atas kematian neneknya.

"Kamu yang kuat, ya, sayang!" ucap Bara menguatkan.

****

"Gerhana, kamu yakin nggak mau ikut tinggal di rumah Papa?" ucap Bara, yang langsung mendapat tatapan tajam oleh Sinta.

"Mas, aku mau bicara sama kamu!" ucap Sinta, kemudian ia mengajak Bara pergi sedikit menjauh dari Gerhana.

"Mas, kamu apa-apaan sih, aku nggak mau yah, kalau anak kamu tinggal di rumah kita. rumah kita itu udah cukup untuk menampung keluarga kita, lagian anak kamu juga udah gede, dia pasti bisa jaga diri dia sendiri!" jelas Sinta dengan emosi.

"Lagian kamu cukup kirimin dia uang bulanan, dia juga udah bisa bertahan hidup!"

"Tapi, Gerhana itu anak aku Sinta, dia darah daging aku. Aku nggak tega ngebiarin dia tinggal sendirian di sini." ucap Bara.

"Kalau kamu masih tetap ingin Gerhana tinggal bersama kita, lebih baik kita cerai, Mas!" putus Sinta. Bara yang mendengar ucapan serius dari Sinta terdiam, ia tidak menyangka jika Sinta akan bersikap sejauh ini.

"Ma!" panggil Bara yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Sinta.

Bara melihat Gerhana di sana, ia tahu psti Gerhana mendengar semua pembicaraan mereka.

"Gerhana!" panggil Bara, ia segera menghampiri putranya.

"Mama bener, Pa. Gerhana udah besar, Gerhana bisa jaga diri Gerhana sendiri. Papa nggak usah mikirin Gerhana."

"Kalau Papa sama Mama cerai kasihan adik-adik aku, Pa, aku nggak mau mereka bernasib sama seperti aku!" ucap Gerhana dengan lirih.

"Cukup aku dan Gala yang menjadi korban, aku nggak mau adik-adik aku nggak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua mereka karena keegoisan kalian!" ucapan Gerhana bagai tamparan keras kepada Bara, lelaki itu merasa bersalah sekaligus menyesal. Ia tahu jika Gerhana sudah sangat menderita akibat perceraian mereka.

"Ma-maafin Papa, sayang. Papa menyesal melakukan semua itu," ucap Bara dengan tulus, sembari menyentuh pundak Gerhana.

"Nggak ada yang perlu disesali sekarang, Pa. Semuanya udah terjadi, mungkin memang nasib Gerhana yang harus seperti ini," ucap Gerhana lirih.

"Sekarang, Papa fokus aja sama keluarga Papa, nggak usah pikirin Gerhana. Gerhana udah biasa sendirian, sejak kalian memutuskan untuk pergi dan tinggal bersama keluarga kalian masing-masing, Gerhana udah terbiasa untuk mandiri. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan," jelas Gerhana.

****

Seminggu setelah kepergian sang nenek, hari-hari Gerhana jalani dengan sendirian, jika dulu masih ada nenek tempat dirinya untuk bercerita tentang semua kesedihannya, kini sosok itu sudah tidak ada lagi. Gerhana harus terbiasa memendam semua kesedihannya sendiri.

Saat itu Gerhana tengah berada di tengah-tengah guyuran hujan. Sejak kecil, Gerhana memang suka bermain hujan, bahkan pemuda itu sudah menganggap jika hujan adalah temannya, menurutnya, ketika hujan turun dan membasahi tubuhnya, entah kenapa semua beban pikiran di hati Gerhana seketika lenyap. Meskipun hanya sesaat tetapi itu cukup menenangkan bagi Gerhana.

"Ma, Mama kenapa belum pulang juga sih Ma. Sekarang Nenek udah enggak ada. Gerhana sekarang sendirian, Ma." ucap Gerhana disela tangisnya.

"Mama sama Gala lagi apa di sana? Gerhana kangen kalian, Ma."

"Cepat pulang, ya!" lirih Gerhana di tengah guyuran hujan.

"Ini buat lo," suara itu menyadarkan Gerhana dari dalam pikirannya, Gerhana melihat seorang gadis berdiri di hadapannya, sembari memberikan sebuah payung untuknya.

"Lo ngapain hujan-hujanan di sini? Enggak takut sakit?" ujar gadis itu.

"Gue udah terbiasa sama rasa sakit, tanpa terkena hujanpun gue udah ngerasain sakit setiap harinya," balas Gerhana

"Cowok aneh," gumam Gadis itu.

"Ini ambil, jangan terlalu sering hujan-hujanan, enggak bagus buat kesehatan!" peringat gadis itu.

Gerhana menatap lekat netra hitam milik sang gadis, Gerhana bisa melihat ketulusan dari mata gadis itu. Sebelumnya, tidak ada yang mengkhawatirkan dirinya seperti ini selain neneknya. Seolah terhipnotis, Gerhana terus tersenyum menatapnya. Disaat Gerhana sedang merasakan kesendirian dan kesepian di dalam hidupnya, semesta seolah memberikan sosok baru dihidupnya. Baru kali ini ada seseorang yang peduli padanya. Bahkan, ketika Gerhana sering hujan-hujananpun, tidak ada satupun orang yang peduli kepadanya.

"Makasih," ucap Gerhana. Gadis itu mengangguk dan tersenyum.

"Kaira!" panggilan itu mengalihkan atensi mereka.

"Gue cabut dulu," pamit gadis itu sebelum pergi meninggalkan Gerhana.

"Gue harap kita bisa ketemu lagi," teriak Gerhana yang mendapat balasan dari gadis itu. "Semoga."

Gerhana tersenyum mendapat balasan dari gadis yang bernama Kaira itu.

"Ternyata namanya Kaira. Cantik, sama kayak pemiliknya," ucap Gerhana diringi senyum di wajahnya.

Entah kenapa, seketika Gerhana melupakan sedikit kesedihannya setelah melihat gadis yang bernama Kaira itu. Perlakuannya tadi benar-benar membuat Gerhana menghangat, Bahkan ia tidak sadar jika baru saja menangis karena kesedihannya.

PLUVIOPHILE ~SELESAI~ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang