Setelah turun dari taxi, Gerhana berjalan memasuki pekarangan rumah papanya, rumah itu bernuansa modern dan bahkan pekarangannyapun cukup luas. Setelah sampai di depan pintu rumah, Gerhana memencet bel, tidak butuh waktu lama ia langsung di sambut oleh asisten rumah tangga papanya, sebut saja Bi Ina.
"Assalamualaikum, Bu," ucap Gerhana memberi salam.
"Waalaikumussalam, Den Gerhana, Ayok silahkan masuk," balas Bi Ina dan mempersilahkan Gerhana untuk masuk.
Gerhana masuk dan duduk di kursi ruang tengah, ia tidak melihat tanda keberadaan mama tirinya, biasanya jika ia datang pasti mama tirinya akan berteriak menanyakan siapa yang datang ke rumah. Namun, kali ini tidak, hanya keheningan yang menyambutnya.
"Bi, Mama sama yang lainnya ke mana?" tanya Gerhana penasaran.
"Nyonya lagi pergi arisan, kalau Den Gali main sama temennya, Nah, kalau Non Gina jam segini dia les piano," jelas Bi Ina, sementara Gerhana hanya mengangguk.
"Kakak," ucap Gio kegirangan, bocah kecil itu langsung berlari dan duduk di pangkuan Gerhana.
"Nih, cuma ada Den Gio di rumah," lanjut Bi Ina.
"Tumben, Gio enggak di ajak," ucap Gerhana sembari bercanda dengan sang adik.
"Tadi, Den Gio lagi tidur, makanya enggak diajak."
"Oh iya, Den Gerhana mau minum apa? Biar Bi Ina buatkan," lanjutnya. Ia tahu pasti saat ini pemuda itu tengah lelah, mengingat perjalanan ke sini cukup jauh.
"Udah, enggak usah repot-repot, Bi. Tu anak bisa bikin sendiri," timpal seseorang yang baru saja memasuki rumah.
"Nyonya," panggil Bi Ina.
"Mendingan, sekarang Bi Ina siapin air hangat buat saya mandi, saya mau mandi habis ini!" perintah Sinta.
"Baik, nya," ucap Bi Ina, kemudian pergi.
"Ma." Gerhana berniat untuk menyalami tangan Sinta, tetapi, wanita tua itu bukannya membalas uluran tangan Gerhana, ia malah acuh seperti tidak melihatnya.
"Gio, sayang. Kamu sudah bangun, Nak," ujar Sinta, ia pergi menghampiri ke tempat anak bungsunya. Sementara Gerhana, pemuda itu hanya tersenyum kecut, lagipun ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh ibu tirinya.
"Gio belum mandi, ya, sayang. Ayo, Mandi sama Mama."
"Nggak mau, Gio mau mau mandinya sama Kakak." Bocah lelaki itu, pergi menghampiri Gerhana dan memeluknya.
"Kakak mau, kan, mandiin Gio?" ucap Bocah kecil itu.
"Gio, mandinya sama Mama aja, ya, sayang," bujuk Sinta dengan lembut.
"Enggak mau, Gio maunya sama kakak," rengek bocah lelaki itu.
Tak tahan dengan rengekan dari putra bungsunya, akhirnya Sinta menyerah. Ia terpaksa mengalah dan membiarkan Gerhana memandikan Gio.
Setelah memandikan Gio, Gerhana memakaikan baju kepada bocah kecil itu. Ia memilah baju mana yang bagus untuk dikenakan adik kecilnya itu.
"Kak Ghana," panggil Gio.
Gerhana langsung menoleh dan sedikit terkejut mendengar panggilan itu dari Gio. Sudah lama sekali ia tidak mendengar panggilan Ghana, panggilan masa kecilnya dulu. Ah tidak, Gerhana jadi teringat kembali dengan adiknya Gala, panggilan itu selalu diucapkan dari mulut Gala ketika memanggil dirinya.
"Kakak kenapa nangis?"
Mendengar ucapan itu, Gerhana langsung mengusap air mata yang keluar membasahi pipinya. Tanpa sengaja ia meneteskan air mata, Gerhana begitu merindukan adiknya Gala dan juga Mamanya.
"Enggak, kakak nggak nangis, kok," ujar Gerhana tersenyum. Ia mencoba menghibur adik kecilnya, dan memberitahu jika dirinya baik-baik saja.
"Kakak, nggak boleh sedih, ya, nanti Gio juga sedih," balas Gio.
"Iya-iya, enggak, kok."
"Janji?" Gio mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Gerhana.
"Janji!" ucap Gerhana, ia mengaitkan jari kelingkingnya kepada jadi mungil milik sang adik.
****
"Gerhana, tunggu!" panggil Tara, sejak di parkiran sekolah tadi, Tara memanggil pemuda itu tetapi tidak didengar.
Gerhana sengaja tidak menghiraukan gadis itu, ia tidak mau berurusan dengannya, entah kenapa sejak awal bertemu Gerhana tidak menyukai gadis bernama Tara itu.
"Woi! Lo punya telinga nggak, sih?" maki Tara, setelah berhasil mengejar pemuda itu dan menghadang jalannya, Tara langsung meluapkan kekesalannya.
"Minggir lo, gue mau lewat!" ucap Gerhana datar.
"Enggak! Gue nggak mau!" tegas Tara. Hal itu membuat Gerhana semakin jengkel, ia berusaha untuk meredam emosinya agar tidak tersulut.
"Mau lo apa, sih? Kalau lo cuma mau cari ribut, gue lagi nggak mood," ucap Gerhana malas. Jujur saja, saat ini yang ia inginkan hanyalah masuk ke kelas.
"Lo kenapa, sih? Kayaknya semenjak gue datang ke sekolah ini, lo enggak suka banget sama gue," ucap Tara.
"Nah, itu lo tahu," balas Gerhana.
"Tapi, kenapa? Apa cuma gara-gara waktu itu di koridor? Tapi, kan, waktu itu gue udah minta maaf karena udah nabrak lo, lagian gue juga nggak sengaja."
"Seharusnya lo nggak harus kek gini, gue itu murid baru di sini," jelas Tara.
"Terus .... Kalau lo murid baru di sini kenapa? Penting banget buat gue harus baikin lo?" jawab Gerhana.
"Ngeselin banget, sih, lo!" kesal Tara, ia begitu geram dengan pemuda dihadapannya ini.
"Udah ngeselin, nggak tahu berterima kasih pula!" ucap Tara sembari menatap tajam Gerhana.
"Apa lo bilang? Nggak tahu berterima kasih?" ujar Gerhana dengan tatapan yang sama, kedua pasang mata mereka saling beradu dengan sengit.
"Iya, emang bener, kan?"
Gerhana tersenyum smirk. "Lagian, yang nyuruh lo nolongin gue siapa? Nggak ada, kan?" jelas Gerhana.
"Gerhana, Tara," panggil Kaira.
Gerhana dan Tara langsung memutuskan tatapan tajam mereka, dan beralih kepada Kaira dan juga Genta yang saat ini berada di hadapan mereka.
"Kalian, ngapain di sini? Ayo, masuk, sebentar lagi bel masuk bunyi," ucap Kaira mengingatkan.
"Iya, ini juga kita mau masuk kelas, kok," balas Tara.
"Kok, kalian bisa barengan? tumben banget," tanya Gerhana penasaran.
"Oh, iya, nih. Gue nggak sengaja ketemu Kaira di jalan, mobilnya tadi mogok, jadi gue ajak aja sekalian daripada telat, kan," jelas Genta.
Sementara Gerhana, ia hanya mengangguk. Lagipula apa gunanya juga ia menanyakan soal itu, bukannya itu hal yang bagus untuk Genta, dengan begitu mereka berdua akan semakin dekat.
"Kalau gitu, kita duluan, ya," pamit Genta, kemudian pergi bersama Kaira.
Gerhana hanya bisa menatap kepergian mereka, mau marahpun ia tidak berhak, karena dirinya bukan siapa-siapa. Ia harap jika Kaira dan Genta bisa bahagia meskipun di sini dirinya yang harus menahan luka.
"Jealous, lo?" Ucapan itu mengalihkan perhatian Gerhana, dan menatap kearah gadis di sebelahnya.
"Enggak, gue nggak cemburu, ngapain juga gue cemburu," bantah Gerhana, ia tidak mau jika ada seorangpun yang tahu tentang perasaannya saat ini.
"Enggak usah bohong, deh, lo. Kalau suka ungkapin aja, nggak usah dipendam sendiri, ntar udah nyesel nangis," ejek Tara, ia sangat tahu tentang perasaan pemuda itu. Bahkan raut wajahnya bisa menunjukkan tentang perasaannya saat ini.
"Apaan, sih, lo. Enggak usah sok tahu jadi orang!" kesal Gerhana, kemudian pergi meninggalkan Tara.
Tara menatap kepergian Gerhana dengan senyum smirknya. "Cowok aneh," ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE ~SELESAI~
Teen Fiction"Aku dilahirkan ditengah keluarga yang utuh dengan penuh tawa tetapi, aku dibesarkan ditengah keluarga yang hancur berantakan!" Gerhana Madana Pradigta Menceritakan seorang pemuda pecinta hujan bernama Gerhana Madana Pradigta. Gerhana terlahir dari...