Awan Diandra Fidelya, merupakan seorang perempuan yang ditakdirkan untuk menunggu. Seperti sekarang, dia menunggu kepercayaan dan kepastian dari seseorang yang pernah berjanji untuk melamarnya. Laki-laki itu adalah sahabatnya sendiri, Biru Abimanyu...
Assalamualaikum semuanya. Gimana harinya? Semoga sehat ya. Jangan lupa bersyukur hari ini. Aku mau ucapin terimakasih banyak-banyak karena udah singgah ke cerita aku. Selamat membaca. Jangan lupa tinggalin vote sama comment ya!
شكرًاجزيلا
☽ . . .
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Tiyang estriiku mahal lanndak ternilai hargane. Dadi perempuanneksampun bisa nutup aurat, sampun njagapandangan lan sesuatu sing apik meneh. Ojo sampe' kumpul kalih wong Lanang sing mboten mahram. Sampean ikitiyang estri,ndakwedi kalih Allah?"
-Mas Nala-
☽ .
Hari ini aku pulang sekitar pukul 6 kurang 20 menit. Biru benar-benar mengantarkan ku pulang. Mungkin kalian berfikir bahwa aku pulang bersama satu mobil dengannya. Tidak, Dia memesankan taksi untukku. Mengikuti mobil taksi pesanannya dari belakang, hingga akhirnya sampai di depan rumah.
Aku turun dari mobil bersamaan dengannya yang berjalan mendekat ke arahku. "Makasih Ru," ucapku padanya. "Ibu sama Ayah kamu ada di Rumah?" tanyanya sambil melihat ke arah rumahku.
"Ibu pastinya ada di dalem. Ayah tadi telpon kalau dia ndak pulang ke rumah. Ada operasi malam ini." Dia mengangguk menanggapi ucapanku.
Seseorang datang mendekati kami. "Loh nduk, Biru yo datang to?" tanya Ibu yang baru saja datang. Mungkin dia keluar karena mendengar ada suara mobil tadi.
"Ayo le, sampean masuk dulu!" Aku menoleh kearah ibu. " Ibu bukane nyuruh Awa masuk, malah Biru dulu." Biru terkekeh. "Nggeh Bu,"
"Loh, kok malah setuju. Tak kiro Biru ndak mau." (Loh, kok malah setuju. Aku kira Biru tidak mau.)
"Biru taksik enten urusan Bu. Ndak usah mampir," ucapku berusaha membuatnya tidak mampir ke rumah.
Biru malah menggeleng. "Ndak Bu. Awa bohong." Ibu hanya melirik ke arahku dan menuntun Biru untuk masuk ke dalam. "Buk, Awan mbokyo ojo ditinggal," ucapku ketika melihat mereka masuk ke dalam rumah dan malah meninggalkanku.
Ibu begitu menyayangi Biru. Dia sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Kami bersahabat dari kecil. Biru sering bermain ke rumah. Mungkin karena itulah Ibu dan juga Biru sangat dekat. Sekarang malahan aku merasa di anak tirikan jika ada Biru bersamaku.
Aku menutup pintu ketika masuk kedalam kamar. Biru dan juga Ibu masih berada di bawah. Aku berpamitan padanya masuk terlebih dulu untuk mandi dan juga berganti baju.