4. DAWAI GAMAKA

622 91 2
                                    

     Setiap manusia selalu hadir dengan problematikanya masing-masing. Tak pernah ada yang benar-benar bahagia tanpa adanya rasa sakit di dalamnya. Karena bukankah setiap hal yang ada di dunia ini selalu berpasangan?

     Maka, tidak mungkin ada bahagia jika tidak ada rasa sakit sebagai pasangannya.

     Ada yang bahagia dengan pasangannya. Tapi tidak bahagia dengan segala permasalahan di rumahnya. Ada yang bahagia dalam hartanya. Tapi tidak bahagia dalam berkasih sayang.

     Semuanya datang dengan adil.

     Rumah yang selalu ia dambakan hanyalah sebuah angan semata. Jangan pernah membicarakan kehangatan di rumah. Karena ia sudah tak pernah merasakannya lagi sejak ia duduk di bangku SD kelas 6. Rumah yang dulunya terasa hangat dan nyaman. Sejak saat itu tak lagi terasa sama. Ia kehilangan rumah nyamannya.

     "Han, musang bawa lagi anak ayam," ucap Gadis yang hanya mengenakan hoodie oversize beserta celana selututnya itu pada handphone genggam yang ia tempelkan pada telinga.

     Hanendra sebagai orang yang di hubungi Gisel saat itu langsung memutuskan telepon dan meminta share location pada Gisel agar ia bisa mendatangi gadis itu dengan segera.

     Jangan tanya Gisel kenapa ia selalu menghubungi Hanendra untuk masalah ini. Yang padahal Ihsan dan Fathur juga mengetahui masalah internalnya ini. Mungkin karena sebelum dekat dengan Ihsan dan Fathur, Gisel lebih dulu dekat dengan Hanendra. Sehingga mungkin itu yang menjadi alasannya untuk selalu menghubungi Hanendra sebagai orang pertama ketika ia membutuhkan sesuatu.

     "Nih." Sebuah kresek putih tersodor ke arahnya. Itu Hanendra yang sudah datang.

     "Ini apaan?"

     "Biasa."

     Gisel tersenyum. Hanendra benar-benar tau apa yang selalu ia butuhkan di setiap situasi seperti ini. Itu adalah seporsi seblak pedas yang akan selalu ia butuhkan dalam situasi seperti ini. Jika ia merasa sakit dengan hal yang ia alami. Maka, ia memilih untuk menimbun rasa sakit itu dengan hal yang membuat lidahnya panas untuk menyaingi rasa sakit yang ia rasakan.

     Tak perlu banyak berucap lagi. Gisel langsung membuka seblak tersebut. Melahapnya sedikit demi sedikit. Terkadang ia akan dengan sengaja memakannya masih dalam keadaan panas. Hingga di mana lidahnya mulai tak bisa menampung lagi rasa pedas dari seblak yang ia makan. Wajahnya memerah, air mata mulai turun karena rasa pedas itu menyerangnya.

     Melihat Gisel sudah di ambang batasnya. Hanendra baru memberikan air mineral kepadanya.

     "Membaik?"

     Gisel mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu belum mampu berucap dengan baik karena mulutnya sibuk menarik udara sebanyak mungkin agar lidahnya tak terasa terbakar.

     "Cewe yang beda?"

     "Gak mungkin sama, Han."

     Hanendra diam. Biasanya jika dalam situasi seperti ini Hanendra akan memberikan pundaknya pada Gisel. Membuat gadis itu tenang. Tapi kini situasinya berbeda. Gadis itu sudah ada pemiliknya. Hingga ia tidak bisa bertindak sepeti biasanya.

     "Gue rasanya udah muak banget, Han."

     "Kan, lo sendiri yang bilang mau bertahan di rumah itu. Lo sendiri yang bilang kalau gak bakal ada yang ngurus ayah lo kalau bukan lo."

     Gisel menutup wajahnya. Hatinya bergerak sakit. "Gue gak mau dosa, Han."

     Melihat Gisel yang sudah mulai runtuh pertahanannya mau tidak mau membuat tubuh Hanendra bergerak untuk memeluknya. Gadis itu juga tak menolak. Ia terlihat nyaman berada dalam pelukan Hanendra. Saking nyamannya membuat air mata itu luruh seketika. Tangannya mengerat pada baju teman laki-lakinya itu karena tangisnya semakin kuat.

Dawai Gamaka || Lee Haechan [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang