7. DAWAI GAMAKA

520 85 4
                                    

     Semilir angin berusaha menerbangkan rambut yang sekarang terasa begitu panjang baginya. Sudah lama sekali ia tidak memotong rambutnya.

     Rasanya menyenangkan berdiam diri di taman kampus yang terasa kosong kala itu. Merebahkan tubuhnya di kursi panjang yang memang tersedia di sana. Menjadikan tasnya sebagai bantalan kepalanya. Jadwal kampusnya sudah selesai sejak 15 menit yang lalu. Dan itu artinya sudah 15 menit juga ia merebahkan tubuhnya di sana.

     "Gak punya rumah, Bang?"

     Mata Hanendra yang semula di tutupi oleh tangannya, seketika menyingkirkan tangannya. Sedikit menyipit kala sinar menusuk matanya. Menatap siapa yang berdiri di dekatnya itu. Tapi sedetik kemudian ia mendecak kesal setelah tau siapa yang berucap itu. Lantas kembali menutup matanya menggunakan tangan. Tanpa menghiraukan siapa yang datang.

     "Malah molor lagi. San!"

     "Hm?"

     "Balik anjir, ngapin sih?"

     "Ganggu banget. Udah sono balik duluan!"

     Laki-laki yang berdiri di dekat Hanendra itu ikut mendecak sebal. Tapi kemudian ia menyingkirkan kaki Hanendra yang memanjang di kursi hingga jatuh ke bawah lalu duduk di sana. Hanendra kesal, tentu saja. Acara tenangnya benar-benar hancur sudah.

     "Malah duduk di sini. Sana balik! Ganggu ketentraman orang aja."

     "Berhenti kaya orang bego gini bisa gak sih, San? Gue kesel banget lama-lama liatnya."

     "Gak usah di liat. Ribet banget."

     Laki-laki yang tak lain dan tak bukan Nanda itu kemudian memukul kepala Abangnya dengan kesal. Membuat Hanendra meringis.

     "Apa sih!" teriak Hanendra kesal.

     "Udah hampir sebulan bahkan hampir 2 bulan lo kaya orang dongo gini. Nyadar gak, sih?"

     "Perasaan lo doang. Gue ngerasa biasa aja. Masih  ngobrol, makan, tidur, berak juga. Semua rutinitas gue berjalan kaya biasanya."

     "Tambahin satu, tuh. Sering ngelamun jadi aktivitas yang gak pernah lo lewatin selama sebulan ini. Gue sampai mikir buat ngerukiyah lo, tau gak? Gedek banget gue liatnya. Lo pikir gue gak sadar apa? Playlist lo sekarang berubah banget. Isinya lagu galau semua. Kaya abis cere 7 kali. Padahal cuma kena friendzone."

     Hanendra tertawa mendengar runtutan kalimat yang mengalir begitu mulus dari mulut adiknya itu.

     "Gak usah ketawa! Gue gak lagi ngelawak."

     "Ya, emang kenapa sih? Gue, tuh lagi di fase mengikhlaskan, Na. Gue emang bego. Tapi ngelupain rasa yang gue taruh buat dia itu gak gampang. Lo tau? Gue selalu mati-matian buat bersikap biasa aja kalau ketemu dia sama pacarnya. Gue berusaha buat bersikap nerima pacarnya itu. Tapi gak bisa. Gue kalau liat mukanya lewat depan gue, tuh rasanya pengen gue tonjok aja."

     "Gak ada siapapun yang minta lo buat hapus perasaan lo itu Ehsan! Gue cuma gak mau lo terus berlarut sama perasaan yang gak berbalas ini. Lo berhak ambil bagian dari kebahagiaan lo."

     "Ngomongnya gampang, kan, Na? Buktinya gue yang ngejalanin susahnya udah kaya mau mati. Masalahnya gue ketemu tiap hari. Satu grup band. Satu kelas. Kita bahkan udah biasa saling pegang tangan bahkan pelukan. Dan sekarang semuanya berubah yang mengharuskan gue untuk jaga batas. Mana bisa."

     "Belum. Bukan gak bisa. Gue kenalin cewek aja gimana?"

     Tawa si abang mengudara bebas mendengar celetukan random dari adiknya itu. Hanendra sangat mengerti makna tersirat atas tawaran adiknya itu. Ya, apa lagi? Nanda khawatir. "Ceritanya mau jadi mak comblang?"

Dawai Gamaka || Lee Haechan [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang