14. DAWAI GAMAKA

512 68 12
                                    

     "SUMPAH?!"

     Suara teriakan yang memekakkan telinga itu berhasil membuat matanya terpejam sembari menutup telinganya yang meskipun telat respon. Mata yang semula terpejam kembali terbuka lantas memberikan tatapan kesalnya.

     "Bisa biasa aja gak anjir?"

     "Gak bisa! Terus... terus, gimana?"

     "Gak gimana-gimana."

     Decak pelan terdengar dari mulut si lawan bicaranya. "Ya, lo gimana? Kesempatan, kan?"

     Ia menghembuskan nafasnya kuat kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Menatap langit biru yang sangat bersih pagi itu. "Kesempatan dari mana, sih, Na? Meskipun itu seolah info bagus bagi gue. Tapi pada kenyataannya bahkan gue gak bisa ngapa-ngapain. Dia masih naruh rasa yang besar buat mantannya. Gue gak mau sakit, Na. Anggaplah gue cemen karena gak mau ngerasain sakit. Tapi gue gak bisa bayangin harus berhubungan sama orang yang hatinya belum selesai di masa lalu."

     Nanda yang lagi dan lagi menjadi lawan bicaranya kala itu menganggukkan kepalanya setuju. "Iya, sih. Tapi kalau ternyata lo berhasil nguasain hati dia gimana? Kan, ala bisa karena biasa. Pelan-pelan pasti dia nerima kehadiran lo, kan?"

     "Sampai kapan?"

     "Apanya?"

     "Sampai kapan gue harus beralih profesi buat jadi dokter penyembuh hatinya dia? Iya kalau gue berhasil. Kalau enggak? Gue yang jatuh sendiri pada akhirnya."

     Nanda mendengus pelan. Ia bahkan sampai merasa rumit sendiri gara-gara kisah cinta abang beda satu tahunnya ini. Yang padahal bukanlah sesuatu yang perlu ia pikirkan. Hanya saja ia merasa bahwa sikap abangnya ini kelewat bego. "Lo ribet!" sentaknya pelan.

     Hanendra tertawa pelan. Jangankan Nanda, dirinya sendiri pun merasa bingung dengan sikapnya. Berita putusnya Gisel dengan Reza harusnya menjadi berita baik yang ia tunggu-tunggu. Karena berita itu akan menjadi titik awalnya ia memulai kembali untuk memperjuangkan hatinya. Iya, seharusnya begitu.

     Tapi entah mengapa. Hanendra justru merasa sedih. Ia merasa gagal menjaga Gisel yang harus jatuh pada hati yang salah. Hingga kandas di hubungan pertamanya.

     "Lo tau, San? Ada orang yang pernah ngomong gini ke gue. Katanya akhirnya sebuah hubungan itu bukan menjadi patokan kalau dia akan selalu gagal di percintaan. Siapa tau Gisel gagal sama Reza itu jadi kesempatan lo buat bisa berhasil ngejalin hubungan sama Gisel."

     Kalimat itu terdengar menggelikan bagi Hanendra. Bukannya apa, dulu adiknya itu menggebu-gebu agar dia tidak terus terikat pada rasa yang ia miliki untuk sahabatnya. Tapi kali ini, ia malah berucap seolah mendorong dirinya agar maju dan menjalin hubungan dengan Gisel. "Jadi lo, tuh di tim yang mana, Na?"

     "Hah?"

     "Tim yang dorong gue buat jadian sama Gisel atau tim yang nyuruh gue buat lupain perasaaan gue?"

     Si adik mengangkat bahunya acuh. "Gue, sih milih yang bisa bikin lo bahagia aja. Maksud gue, kalau lo masih punya rasa dan di situ ada kesempatan. Ya, kenapa engga? Ibaratnya ngabisin rasa penasaran. Tapi kalau lo ngerasa dengan menghapus rasa itu hal yang paling tepat. Ya, jalanin aja. Cuma—

     Hanendra menatap pada Nanda yang menggantung ucapannya. "Cuma apa?" tanyanya karena Nanda menjeda ucapannya cukup lama.

     "Jangan curhat cerita yang sama berulang-ulang!" sentaknya yang berhasil membuat tawa Hanendra menguar seketika.

     "Lu sendiri yang maksa gue buat curhat."

     "Ya, siapa coba yang bakal tahan liat kegalauan abangnya? Kesel banget gue denger playlist lo lagu galau semua."

Dawai Gamaka || Lee Haechan [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang