Fanny membuka pintu dengan cepat karena takut terlambat. Segera setelah mengetahui bahwa belum ada guru yang masuk kedalam kelas ia mengelus dada dengan lega.
"Beruntung sekali... Pak Helm belum muncul," desis Fanny dengan napas lega, menyusup masuk dengan gerakan santai.
Suasana suram kelas saat Rie melihat pintu terbuka begitu terasa. Namun, suasana itu tak memengaruhi Rie sama sekali.
Ia merasa aneh. Petunjuk-petunjuk aneh yang diberikan oleh Miss Mia membuatnya merasa tolol. Siapa pun akan merasakan hal yang sama jika aturan main di sekolah ini adalah kekerasan, bahkan dianggap sah oleh para guru.
Rie mengambil napas panjang dengan tenang."Bisakah kau tenang sebentar..." gumam Rie perlahan. Tanpa banyak bicara, ia melangkah masuk ke dalam kelas.
Seketika, keheningan di ruangan itu mereda menjadi lebih hening. Rie dengan cermat mengamati sekelilingnya.
Ruangan kelas itu memenuhi harapannya tentang sekolah dengan kondisi bangunan yang buruk. Kekacauan tampak bersatu dengan pesona yang tak terduga.
Kursi-kursi tua tersebar secara acak, menciptakan kesan ruang yang berantakan namun menarik dengan caranya sendiri. Meja-meja kayu yang usang dipenuhi goresan dan bekas-bekas akan kerusakan.
Di salah satu sudut ruangan, rak buku penuh dengan koleksi buku-buku tua yang tersusun rapi. Sebuah jendela besar dengan kaca yang, anehnya, masih bersih, terletak di dekat kursi pojok paling belakang.
Para murid, yang sebelumnya hening, sekarang memandang ke arah pintu saat Rie memasukinya. Rie bertemu pandangan mereka satu per satu.
Sedikit orang, kurang dari sepuluh. Ada yang sedang duduk santai di meja sambil merokok,ada juga yang tiduran di belakang.
Rie melihat ada seorang gadis yang terlihat elegan, sedang duduk di meja bagian depan sambil membaca buku. Gadis itu sama sekali tak menoleh ketika Rie datang memasuki kelas.
Namun, di tengah kesunyian yang memenuhi ruangan, beberapa murid tampaknya tidak bisa menyesuaikan diri dengan kedatangan Rie yang tiba-tiba.
Meskipun penampilannya biasa saja - tubuhnya kurus, tidak terlalu tinggi, tampak rapuh - Rie membawa aura keberadaan yang agak misterius.Ada sesuatu dalam matanya yang membuat tatapannya berbeda dari yang lain.
Bagi Rie, kepercayaan dirinya kembali pulih saat melihat bahwa semua orang di kelas ini tampaknya tampil biasa. Tapi, lubang besar di dinding dekat papan tulis terus mengganggu pandangannya.
Namun sekarang, semua orang menatapnya. Fanny, gadis pengkhianat itu, duduk di mejanya di tengah-tengah ruangan. Rie merasa terjebak dalam suasana canggung, bingung harus duduk di mana.
"Belle..?" Rie menoleh saat mendengar panggilan itu, melihat seorang gadis berambut panjang berdiri di sampingnya.
Rie menghela napas. "Maaf... Mungkin wajahku terlihat mirip dengan gadis itu, tapi aku bukan dia. Namaku Rie, adik Belle," jawab Rie singkat.
"Oh, jadi kau adiknya Belle. Senang bertemu, Rie. Namaku Maya. Aku ketua kelas di sini. Kau bisa mengandalkanku jika butuh bantuan," kata Maya sambil tersenyum, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Rie ingin menjabat tangan Maya, tapi terhenti oleh seruan yang tiba-tiba menghentikannya.
"Maya! Jangan mendekat" ?" desis seorang pria dengan nada yang menyindir, matanya menatap tajam pada Rie. Dengan sebatang rokok yang menyala di tangannya,ia menatap Rie penuh waspada.
"Apalah Gray, jangan terlalu kaku. Kita semua baru saja bertemu," kata Maya dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka.
Pemuda yang dipanggil Gray tetap tak menurunkan kewaspadaan. Ia tetap menatap tajam Rie.