Rie terbangun di UKS sekali lagi. Kini kepalanya dililit perban.
"Sudah sadar?" kata Robin. Ia berdiri di sebelah ranjang Rie, merapikan alat operasi.
"Apa yang terjadi?" Rie mengelus pelipisnya yang masih pening.
Robin selesai merapikan alat-alatnya. Ia menghadap Rie sambil meregangkan punggungnya.
"Kau baru saja selamat dari gegar otak ringan di kepala bagian belakang. Katanya dipukul dengan pentungan kasti."
"Perasaan tadi cuma mau ambil nasi bungkus, dah..." ucap Rie heran.
"Sudah kubilang, tradisi sekolah ini sangat menarik." Robin mengambil tasnya di atas meja.
"Jam kerjaku sudah habis. Ini sudah waktunya pulang sekolah. Cepatlah pulang kalau kau sudah sadar beneran. Aku pergi dulu, daah." Robin melambai lalu keluar dari ruangan.
Rie memperhatikan sekitar. Raiden juga sudah tidak ada. Di UKS cuma tinggal dia seorang.
Belle tiba-tiba masuk.
"Rie!" Belle berseru khawatir, berlari ke ranjang Rie.
"Belle?"
Belle langsung duduk di pinggir ranjang, menatap Rie dengan wajah panik. Tangannya menggenggam tangan Rie. "Ada yang sakit?"
"Semuanya. Terutama kepala."
"Syukurlah." Belle bernapas lega.
"Syukurlah jidatmu." Rie menatap Belle sinis.
Belle meringis cengengesan. "Hehe, maaf. Aku gak menyangka kalau kamu bakal digebukin."
"Digebukin? Emangnya mengambil nasi murah nyaris busuk seberdosa itu kah?" Kata Rie tak percaya.
"Makanya tadi aku bilang suplemen otot dan mental. Itu tadi adalah tempat buat battleroyal rebutan nasi. Semuanya akan bertarung, bersaing mendapatkan nasi itu." Belle menggaruk bagian belakang kepalanya, masih senyum cengengesan.
"Jadi kalau mau makan harus gelut juga?" Tanya Rie curiga.
"Semacam itu, hehe."
"Sekolah ini agak kelewatan. Kau juga, mengorbankan saudara sendiri di medan perang demi nasi super murah." Sindir Rie dengan sinis.
"Rie!" ucap Belle dengan nada terluka. Dia melompat naik ke ranjang dan mencekik Rie sambil menangis. "Maafkan aku Rie! Jangan marah! Aku bingung harus bagaimana lagi. Cepat atau lambat kita bisa miskin!" isak Belle.
Rie berusaha mengambil napas. "Iya, iya. Aku yang salah. Aku minta maaf. Tapi, lepasin..."
Belle melepaskan Rie, mengusap matanya yang basah dengan jari. "Maaf," ucap Belle pelan.
"Maaf terus." Rie mengelus lehernya.
"Iya. Maaf ya." Ucap Belle lagi, masih sedikit terisak.
"Sudah cukup!" Rie menghela napas panjang. "Ayo pulang."
Mereka berjalan keluar dari UKS. Langit masih cerah meski sudah mulai meredup, cahaya oranye yang lembut memancar di sekitar sekolah.
Rie dan Belle melangkah menuju gerbang sekolah yang sangat sepi, mencoba melupakan kejadian yang baru saja mereka alami.
"Hmm.." Belle tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. "Oke! Sudah kuputuskan."
"Apapun yang kau putuskan jangan kau putuskan seenak jidatmu." Kata Rie dingin tanpa menoleh.
"Heh?" Belle menoleh dengan wajah kaget. "Kenapa begitu?"