"Ripsnorter..." Suara lemah seorang gadis memanggil namanya. Semuaya gelap. Hanya suara jeritan dan pukulan keras yang terdengar.
Rasanya berat, tubuh seakan diikat dengan belasan rantai yang kokoh. Tak bisa bergerak sama sekali.
Tak ada apapun yang bisa dlihat kecuali kegelapan. Suara jeritan itu makin keras dan jelas. Suara cipratan darah terdengar dengan jelasnya, bahkan terasa mengenai wajah.
"Ripsnorter..."Berteriak, Rie meneriakkan nama gadis itu. Namun teriakan suaranya sendiri tak bisa ia dengar.
Suara gadis itu terdegar sayu dan lemah. "Tolong..."
R I P S N O R T E R
Rie terbangun di sertai suara keras hembusan nafasnya. Duduk dengan cepat. Keringat dingin mengucur membasahi wajahnya. Nafasnya tak beraturan. Tangannya tergenggam sekuat-kuatnya.
Mimpi? Atau mungkin pecahan ingatannya?
"Mimpi itu lagi." Rie mengusap wajahnya. Mimpi buruk itu kembali menghantuinya.
Pertama kali ia memimpikanya setelah sang gadis dejavu menyerangnya. Dan barusan mimpi itu terulang.
Rie menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sendiri dan mengamati sekitar. Dengan segera ia menyadari lokasinya berada di atas kasur di dalam UKS akademi.
Tidak seperti bentuk gedung akademi yang terlihat terbengkalai dan hampir roboh, UKS terlihat sangat rapi dan bersih. Kasur-kasur ditata rapi dan simetris. Lantai serta temboknya putih bersih.
Rie meregangan badannya yang pegal-pegal. Rambutnya yang sisa sebahu jadi kusut dan kotor. Ia mengingat-ingat, kenapa ia bisa sampai di UKS.
Matanya melirik ke kasur tiga meter di sebelahnya, ia terbelalak dan nyaris menjerit kaget ketika ia melihat Raiden tergeletak tak bergerak di sana dengan mulut menganga, mata melotot, dan bekas tendangan Fanny di kepalanya masih mengeluarkan asap.
Rie segera menenangkan diri. "Seberapa kuat sih gadis itu?" pikirnya sambil menatap Raiden yang tidak sadarkan diri.
Ia jadi yakin kalau andai Raiden bukan ninja terlatih, kepalanya pasti sudah gepeng.
Pintu UKS terbuka.
"Kalau sudah bisa bersuara begitu keras seperti itu berarti sudah sembuh ya." Seorang wanita memasuki ruangan, berjalan ke kasur Rie, berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Rie menatap wanita itu.
Rambutnya pirang panjang bergelombang. Ia memakai sweater abu polos sebagai dalaman dan jaket dokter putih. Rok hitam ketat disertai stoking panjang.
Matanya menatap Rie dengan senyuman di bibirnya. "Hai Rie. Tak kusangka kita bertemu lagi secepat ini."
Rie balas senyum. "Miss Robin."
"Kurasa aku sudah memberitahumu jangan terlalu sopan padaku. Kau bisa memanggilku kakak. Sekarang, lepas baju mu."
"Hah?" Rie menatap wanita bertubuh panas itu dengan kosong. Wajahnya malu dan kepalanya dipenuhi hal aneh.
"Kenapa reaksimu seperti itu? Ayo cepat lepas, aku hanya ingin memeriksa lukamu." Robin tertawa pelan dengan menutup mulutnya dengan anggun.
Rie cepat-cepat melepas kancing kemejanya dengan wajah malu. Merasa bodoh karena berpikiran aneh-aneh.
Robin tertawa kecil. "Aku dengar kau membuat kekacauan ya?" tanyanya sambil memeriksa bekas luka di tubuh Rie.
Rie menggaruk belakang kepalanya yang masih agak pusing. "Sepertinya begitu." Rie meringis malu.