Rie keluar dari UKS, menghela napas berat.Awalnya, Robin mengkonfirmasi bahwa seluruh tulang Rie patah. Tidak ada satu pun tulang yang masih utuh.
Namun, mendadak semuanya kembali seperti semula, seolah-olah kejadian tadi hanyalah mimpi buruk.
Rie kembali ke kelas, langsung duduk di kursinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia tak berminat memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung.
Pandangannya tertuju ke luar jendela, menatap langit biru dan awan yang berarak perlahan. Angin sepoi-sepoi yang menerobos masuk melalui celah jendela.
Rie kembali memikirkan nama Camelotte. Nama itu terus bergaung di benaknya, seakan-akan merupakan kunci dari segala misteri yang menyelimutinya.
Dia tahu bahwa menemukan jawaban tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa berhenti mencari tahu. Semuanya terlalu misterius.
Dalam keheningan itu, Rie mulai membayangkan fragmen-fragmen ingatannya yang tersebar seperti potongan puzzle.
Ia menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri saat bayangan wajah Medusa kembali muncul di benaknya.
Tatapan kosong dan dingin gadis itu, disertai air matanya yang mengalir deras, membuat hatinya terasa berat.
Dan kalimat gadis itu. "Kalau begitu coba kalahkan aku," dengan wajah dinginnya.
Rie mengusap wajah. Yang benar saja, mengalahkan ACE terkuat di ABT.
"Sungguh... apa yang sebenarnya terjadi dua belas tahun lalu?" gumam Rie pelan, hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.
Rie sungguh frustasi, meratapi takdirnya sebagai orang lemah. Sampai-sampai ia tak menyadari Pak Helm sudah menutup pelajaran dan pergi dari kelas.
Rie kembali menatap jendela. Bangku tepat sebelum jendela. Rie hampir lupa, ada seorang gadis yang selalu duduk di sana.
Gadis pendiam misterius yang pernah menyelamatkan nyawanya. Hingga kini, Rie terus tertarik padanya.
Rambut panjangnya yang hitam terurai bebas di balik bahunya, kulitnya yang putih porselen, sementara bibirnya yang tipis berwarna merah seperti buah ceri.
Matanya yang tajam dan cerdas, dengan iris merah delima yang mencolok. Hidungnya yang manis menyempurnakan kesempurnaan wajahnya.
Ia memakai headset tanpa kabel berwarna ungu.
Seliana duduk di bangku dengan begitu memesona. Cahaya matahari yang merangsek masuk sedikit dari celah-celah jendela seakan membuatnya bersinar.
Meski, jujur saja, dia jadi terlihat biasa saja setelah Rie melihat langsung wujud sempurna Medusa.
Namun, gadis satu ini memberikan kesan yang berbeda. Bukan sekadar cantik, namun ada hal yang lain.
Saat itu, Seliana duduk di mejanya. Tatapannya ke arah luar jendela, tenang dengan headset ungunya. Tidak menyadari tatapan intens yang diarahkan padanya.
Tatapannya yang tajam namun lembut membuat Rie merasa hangat di tengah kekalutan pikirannya.
Di balik ketenangannya, ada sesuatu yang membuat Rie merasa bahwa Seliana menyimpan banyak rahasia, seperti dirinya.
Lux dan Gray berjalan mendekat, berniat menghibur Rie yang terlihat tertekan.
Namun, tiba-tiba Rie berdiri dan menggebrak meja dengan keras, membuat seluruh kelas terdiam seketika.
"WOI!! TAKDIR SIALAN!!" seru Rie sekuat tenaga.
Lux dan Gray melompat ke belakang, terkejut oleh ledakan emosi Rie.
"Jangan kau pikir aku akan menyerah!!!" lanjut Rie dengan suara keras.
"Aku akan berlatih!! Aku akan berusaha!! Aku tidak akan menyerah!!! Akan kuratakan habis semua ACE!!!"
Suara Rie menggema di seluruh ruangan, menggetarkan dinding kelas. Semua mata tertuju padanya.
Lux dan Gray saling berpandangan, cemas melihat sahabat mereka yang begitu berapi-api.
"Hei, ada apa denganmu?" tanya Lux dan Gray khawatir.
Rie berjalan mendekati meja Seliana, menepuk meja gadis itu.
Seliana menoleh, menatap Rie dengan mata dengan pupil kemerahan mirip delimanya yang indah. Rambut hitamnya yang berkilau di bawah sinar matahari yang masuk melalui jendela.
"Tunggu saja!" seru Rie, menatap dalam mata Seliana. "Aku akan memintamu dengan mahar kemenanganku atas Medusa!" Seru Rie berani.
Seisi kelas terdiam. Lux dan Gray menelan ludah.
"Apa dia..." gumam Lux.
"...Baru saja..." lanjut Gray.
"...Melamar Seliana...?" Sambung Fanny dengan mata terbelalak.
Seliana, dengan senyum di wajahnya, menurunkan headset ungu tua dari telinganya.
"Maaf, aku beneran nggak dengar. Volume musiknya full. Bisa kamu ulangi lagi, Rie?" katanya dengan suara lembut, seolah tidak ada yang aneh.
🅡🅘🅟🅢🅝🅞🅡🅣🅔🅡
♠♦♣♥