Act 3

46 2 1
                                    


"Ripsnorter..." Suara lemah seorang gadis memanggil namanya.

Semuanya gelap. Hanya suara jeritan dan pukulan keras yang terdengar.

Rasanya berat, tubuh seakan diikat dengan belasan rantai yang kokoh. Tak bisa bergerak sama sekali.

Tak ada apapun yang bisa dilihat kecuali kegelapan. Suara jeritan itu makin keras dan jelas. Suara cipratan darah terdengar dengan jelasnya, bahkan terasa mengenai wajah.

"Ripsnorter..."

Rie meneriakkan nama gadis itu. Namun teriakan suaranya sendiri tak bisa ia dengar. Suara gadis itu terdegar sayu dan lemah."Tolong..."

R I P S N O R T E R

Rie terbangun dengan napas tersengal dan jantung yang berdegup kencang. Sebuah mimpi mengerikan menghantui tidurnya, mengoyak-oyak ketenangannya.

Dia mencoba menghela napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantungnya.

Belle, yang sedang duduk di sampingnya, terkejut. Dia melompat dan menjatuhkan gelas kaca yang ada di tangannya. Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah dengan suara yang menggelegar di ruangan.

"Astaga, Rie! Kamu membuatku kaget!" ujar Belle sambil menepuk-nepuk dadanya yang masih berdegup kencang.

Rie masih merasa pusing dan bingung. "Mimpi...?" gumamnya.

Rie menggeleng, mencengkram kepalanya sendiri dengan kedua tangan. "Tidak... itu terlalu nyata... Semuanya terasa asli..."

Mimpi? Atau mungkin pecahan ingatannya?

Kalau itu benar, berarti sesuatu memang benar-benar terjadi padanya di masa lalu. Sesuatu yang ia berusaha ingat namun tak bisa.

"Ya, ya, Tuan Jagoan... bahkan bisakah kau berhenti membuatku kaget meski kau ada di alam bawah sadar?!" kata Belle dengan nada cemberut.

"Belle, kau di sini..." kata Rie pelan.

"Oh, akhirnya kamu menyadari kalau aku ada di sini," kata Belle sambil mengerjapkan matanya. Dia segera membersihkan pecahan gelas yang tadi jatuh.

Rie menatap kedua tangannya. Putih bersih, kecuali alat transfusi darah di tangan kirinya. Tidak ada luka yang terlihat, meski ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Rie memegang kepalanya, dan merasakan rambutnya yang terpotong.

"Apa yang terjadi padaku...?" tanya Rie perlahan, sambil menatap punggung tangannya yang ditancap alat transfusi darah.

Belle selesai membersihkan pecahan gelas dan duduk di kasur tepat di sebelah Rie. "Kau diserang di jalan... oleh pelaku pembunuhan berantai yang baru tadi pagi kamu lihat di berita."

Rie diam...

"Duh, Rie... Rie. Padahal kamu yang memperingatkanku. Tapi malah kamu yang kena. Sekarang rambutmu rusak... Kamu ini membuatku khawatir saja... Aku ini satu-satunya keluargamu."

"Maaf..."

"Hampir saja, Rie... Benar-benar hampir saja."

"Belle..." Rie menoleh ke arah Belle, yang tangisnya pecah begitu saja.

"Maaf, Rie, sungguh maafkan aku. Aku menyesal karena sudah membuatmu merasa sendirian di rumah. Aku tidak tahu kalau kamu kesepian... Tidak, aku hanya menutup diri dari fakta kalau kamu kesepian. Aku... seharusnya lebih memperhatikanmu, Rie," ucap Belle di antara isak tangisnya.

Rie, yang masih lemah, hanya bisa menjawab dengan senyum kecil, mencoba menenangkan hati Belle. "Jangan bodoh... Aku baik-baik saja, Belle. Aku punya kamu, itu sudah cukup."

RIPSNORTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang