Pagi itu, hari Kamis, matahari mulai menyoroti kota yang tenang. Suasana pagi yang damai menyenangkan di lingkungan sekitar.Langit biru cerah dan segar, dengan awan putih yang melayang-layang. Dedaunan rindang menghias sepanjang jalan.
Rie dan Belle berangkat bersama menuju akademi. Saat tiba di koridor, mereka berpisah menuju kelas masing-masing.
Rie melangkah masuk ke dalam kelasnya dan melihat Fanny yang sedang duduk di mejanya, sibuk dengan buku-buku dan catatan.
"Hoi," sapa Rie.
"Pagi, Rie," balas Fanny dengan senyum ceria di wajahnya.
Rie segera menjatuhkan diri di kursinya, merasa seluruh tubuhnya pegal setelah latihan intensif bersama Belle.
"Badanku pegel semua. Fanny, pijetin dong," pintanya sambil memejamkan mata.
Fanny menurut, ia memijat pundak Rie dengan jari-jarinya yang mungil. "Ini bahumu, kok keras banget?" ucap Fanny heran, merasakan tegangnya otot-otot Rie.
Rie mengangguk . "Aku baru keluar dari neraka."
Regenerasi sel Rie memang cepat, tapi tak bisa menyembuhkan rasa pegal.
Tiba-tiba Lux datang dan duduk di meja sebelah Rie. "Yow, bagaimana latihanmu?"
Rie menoleh dengan wajah heran. "Kau tahu darimana?"
"Kemarin aku lewat taman itu," ujar Lux sambil menahan tawa.
Rie menghela napas panjang, merasa sedikit malu.
"Jadi, bagaimana latihanmu?" Lux bertanya lagi.
Rie menguap, wajahnya tampak lelah. "Buruk sekali. Kalau dalam sebulan aku naik ke KING itu pasti otot haram."
"Jelas," ucap Gray yang tiba-tiba muncul di bingkai jendela dengan senyum lebar. "Pagi."
Maya muncul di depan pintu, mulai mengomel tentang larangan masuk lewat jendela.
Gray hanya menggaruk kepalanya sambil tersenyum tak berdosa.
Suasana kelas menjadi hidup dengan percakapan mereka. Meski tubuh Rie tetap terasa pegal.
Tak lama Pak Helm si paling misterius datang. Ia membuka pelajaran seperti biasa, tak terasa sudah istirahat saja.
R I P S N O R T E R
Lux menguap dengan otak berasap, menatap kosong ke depan. Gray, yang duduk di sebelahnya, tak terlihat lebih baik.
Sementara itu, Rie tampak seperti akan pingsan di mejanya dengan wajah pucat. Ketiga laki-laki itu terlihat seperti zombie yang baru bangkit dari kubur.
Maya menatap mereka penuh ironi. "Alergi matematika kalian benar-benar parah ya? Kalian baik-baik saja?" tanyanya.
Rie menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan. "Kurasa aku mau cari udara segar dulu," ucapnya sambil berdiri dari kursinya dengan enggan.
Maya mengangguk mengerti. "Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya. Pelajaran akan dimulai sebentar lagi."
Rie mengangguk lemah, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah berat.
Lux dan Gray hanya bisa saling pandang dengan mata setengah tertutup, mencoba bertahan dari serangan matematika yang begitu menyiksa.
Saat Rie keluar, dia merasakan angin sejuk menerpa wajahnya. Berjalan di lorong-lorong koridor sekolah yang sepi dan kotor. Lantainya sangat kotor, tembok penuh coretan pilok, jendela yang ada di sisi kanan dan kiri koridor juga banyak coretan pilog.