Prolog

178 54 1
                                    

"Kaifa haluki, Aiza?"
 
"Waduh waduh, lama ga ketemu udah beda ya Far bahasanya." Terdengar tawa renyah dari seberang.

"Barusan habis baca novel tentang kehidupan pesantren, jadi keikutan deh haha."

Aku menyeruput secangkir teh sambil berdiri dipinggir jendela kamar yang menghadap langsung ke jalan komplek. Dari atas sini, aku bisa melihat dengan jelas kegiatan tetangga di sore hari yang cerah ini. Suara anak kecil yang berlarian kesana kemari bermain bersama anak yang lain turut menghiasi. "Ternyata tinggal disini lebih nyaman, ya" batinku.

"Lama ga ketemu ya Far, rindu main bareng," Ucapku kemudian.

"Ya makanya kamu pulang, betah banget kayaknya ya kamu disana," Balas wanita diujung telepon.

Terdengar suara gemuruh mesin pesawat yang melintas diatas rumah ini. Kebetulan rumah ini cukup dekat dengan bandara. Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit saja untuk sampai kesana.

"Oh ya, kabarku alhamdulillah baik kok Far. Kamu sendiri gimana kabarnya? Baik-baik aja kan?" Aku baru menjawab pertanyaan pertama dari lawan bicara ku ini, meskipun pertanyaan itu sudah terlewat sepuluh menit yang lalu.

"Ga sekalian besok aja jawabnya, hmm. Aku lagi ga baik-baik aja Za." Jawab Fara yang diakhir dengan tawa lepas khasnya.

"Kenapa? Ujianmu ga lulus?" Jawabku menerka. Aku berjalan menjauhi jendela, mendekat kearah meja belajar dan menaruh cangkir teh yang dari tadi aku pegang.

Entah kenapa, perhatianku tiba-tiba teralih ke figura yang terpajang di atas meja belajar. Foto itu diambil empat tahun yang lalu, saat aku dan Fara masih duduk di bangku SMA.

Aku punya cukup banyak foto bersama Fara dan teman-teman ku yang lain. Hampir di setiap momen kami selalu mengabadikannya. Tapi, foto satu ini berbeda dari yang lain. Karena difoto ini, aku dapat mengenang momen yang tidak akan pernah mungkin dapat terulang lagi. Ada "dia" di sana, dia yang sampai sekarang masih menjadi pemenang di hati meskipun aku tahu sulit untuk menggapainya.

"Iya, Za. Padahal aku cuma perlu menyelesaikan dua soal lagi." Fara menjawab. Nada suaranya yang tiba-tiba merendah cukup menggambarkan bahwa ia sangat kecewa saat ini.

Aku memainkan jari-jariku di atas meja hingga  menghasilkan nada seperti suara telapak kaki kuda. Mataku masih terfokus pada figura di depanku. Rasa sedih, senang, kecewa, dan rindu bercampur aduk saat aku memandang foto itu, dengan seragam kebanggaan yang kami kenakan serta ada beberapa piala diantara kami. Foto yang diambil pada saat setelah tim kami memenangkan perlombaan antar sekolah empat tahun yang lalu.

"Aiza, kapan pulang sih. Nanti kita main lagi ke sekolah dulu. Sekalian flasback masa-masa SMA seru kali ya," Lanjutnya.

Apa yang baru saja Fara katakan, sekolah? SMA? andaikan dia tahu hatiku masih sangat rapuh menyangkut dua hal itu. Tempat itu tentu akan semakin mengingatkan aku pada orang itu. Sepertinya aku masih belum saggup untuk mengunjunginya dalam waktu dekat. Meskipun ini sudah berjalan tiga tahun sejak aku lulus dan berpisah dengan orang itu, namun rasanya baru kemarin aku melewati semua ini.

"Hmm, nanti lah ya. Bentar lagi kamu ulang tahun kan ya? Kak Adnan juga katanya udah mau nikah ya," Jawabku diakhir dengan tawa kecil. Aku berusaha terdengar seceria mungkin agar Fara tidak menyadari apa yang sedang aku rasakan saat ini.

"Iya lah, makanya cepet pulang, nanti kita bisa ngerayain ultah aku sekalian dateng ke nikahan kak Adnan, kalo diundang sih tapi," katanya lagi. "Aku pengen main bareng kamu lagi, Za. Sombong banget sih sampe ga mau pulang lagi demi ketemu sahabatnya ini."

"Aku baru pulang loh semester lalu, setengah tahun yang lalu," debat ku.

"Setengah tahun yang lalu, itupun cuma seminggu loh, Za, " Jawabnya, balas mendebat ku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Fara saat ini. Ia terdengar sangat kesal saat berusaha membujuk ku untuk pulang. Baru setengah tahun kami tidak bertemu, mungkin tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi pada Fara. Yang aku ketahui saat ini hanyalah bahwa Fara memutuskan untuk berhijab sejak dua bulan yang lalu. Wajahnya yang memang sudah cantik terlihat semakin cantik ketika menggunakan hijab.

Ia bilang dia tiba-tiba mendapat hidayah untuk berhijab ketika mengikuti salah satu kajian di kampusnya. Aku merasa sangat senang ketika mendengar niat baiknya saat itu. Aku sudah membujuk dan menghasut nya untuk mengenakan hijab sedari kami masih SMA. Namun tidak membuahkan hasil, ia berkata ia masih belum pantas dan belum siap untuk berhijab pada saat itu.

"Tahun depan aja lah ya aku pulang, kalo aku pulang kecepetan nanti kamu kesenangan lagi," Jawabku sedikit meledek.

"Mana bisa gitu Aiza, pokoknya kamu harus cepetan pulang. Aku ada satu temen cowok ni, ganteng, baik, sholeh juga. Aku mau ngenalin dia ke kamu. Siapa tau cocok kan, haha" Fara tertawa lepas.

Tidak Far....
...masih belum ada sosok yang dapat menggantikan posisinya dihati ini. Meskipun aku tahu, tidak akan ada lagi kesempatan bagiku untuk dapat memilikinya. Ia akan segera menikah, dengan wanita yang ia idamkan dan bukan hanya mencintainya namun juga ia cintai.

2.284 KMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang