Jejak Perasaan

43 1 0
                                    

"Takdir menganyam benang-benang kehidupan, membawa kita pada pertemuan yang tersembunyi di balik jalinan waktu, di mana keindahan tak terduga pun terkuak"

-Adnan Yusuf Habibie-



Namaku Adnan Yusuf Habibie, aku adalah seorang pelatih dari salah satu ekstrakurikuler di SMA Harapan Bangsa. Kurang lebih dua tahun aku menekuni profesi ini. Semua berjalan biasa saja setiap harinya, sampai dimana dihari itu, dia bergabung dengan tim kami. Dia tampak berbeda dari yang lain, lebih tenang, lebih fokus, dan entah kenapa seperti ada aura tertentu pada dirinya yang berhasil menarik perhatianku.

Aiza, begitu lah para murid lain sering memanggilnya. Gadis manis bertubuh tinggi dengan hijab yang selalu menutupi tubuhnya. Ia tampak cukup pemalu, meskipun begitu ia adalah gadis yang sangat ceria di depan teman-temannya.

Hari itu, Ia mengenakan kerudung abu-abu yang membuat wajahnya terlihat bersinar di bawah sinar matahari sore. Aku ingat bagaimana dia berusaha keras mengikuti setiap instruksi dengan semangat yang begitu tulus. Tidak seperti beberapa peserta lain yang cenderung banyak berbicara atau bercanda selama latihan, Aiza tampak benar-benar serius, sesekali senyum manisnya muncul ketika dia berhasil melakukan gerakan yang benar.

Sejak itu, aku sering memperhatikan Aiza dari kejauhan. Bukan karena aku tertarik padanya secara pribadi, setidaknya, itulah yang selalu ku yakinkan pada diriku sendiri. Tapi lebih karena aku kagum dengan dedikasi dan ketekunannya. Dia adalah tipe orang yang meski tak banyak bicara, namun ia selalu berusaha memberi yang terbaik dalam setiap latihan.

Hari demi hari berlalu, dan aku mulai mengenal Aiza lebih dekat. Dia tak hanya tekun, tapi juga pintar dan rendah hati. Kami sering berbicara tentang strategi latihan, dan aku selalu terkesan dengan ide-ide dan perspektifnya. Terkadang, aku melihatnya berbincang dengan teman-temannya, termasuk Dila dan Fara, dengan senyum dan tawa yang membuat suasana sekitar terasa lebih hidup.

Sore itu, setelah latihan yang melelahkan, aku melihat Aiza sedang membereskan peralatannya sendirian. Langit mulai berubah warna menjadi jingga, dan angin sore berhembus lembut. Aku mendekatinya, berusaha terlihat santai. "Aiza, kamu pulang bareng siapa?" tanyaku.

"Oh, aku biasanya naik angkot, Kak," jawabnya, tersenyum sopan. Senyum yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan, meski kali ini ada sedikit kelelahan di matanya.

Kebetulan sekali, rumahku searah dengan rumahnya. "Kebetulan, rumah kita searah. Mau bareng? Aku bisa antar kamu sampai rumah kalo kamu mau," tawarku, setengah berharap dia menerima.

"Terima kasih, Kak, tapi nggak usah deh. Aku nggak mau ngerepotin," katanya. Namun, aku bisa melihat keraguan di matanya.

"Ah, nggak apa-apa, Za. Aku juga nggak buru-buru kok. Lagipula, ini juga demi keamanan kamu. Sore-sore gini agak bahaya kalau naik angkot sendirian, Dila dan Fara juga tadi kan udah pulang duluan," ujarku lagi, mencoba meyakinkannya.

Setelah beberapa detik, akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, Kak. Terimakasih ya."

Dalam perjalanan pulang, aku berusaha membuatnya nyaman dengan berbicara tentang hal-hal ringan. Musik, hobi, dan sesekali tentang latihan. Aku bisa merasakan dia mulai rileks, dan itu membuatku lega. Namun, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku.

"Jadi, Aiza, kenapa tadi kamu tiba-tiba menutup mulut Dila?" tanyaku, mencoba terdengar biasa saja.

Dia tersedak sejenak, lalu menjawab cepat, "Oh, itu... nggak ada apa-apa, Kak. Cuma iseng aja."

Aku hanya tertawa kecil. "Kamu nggak perlu khawatir, Aiza. Aku tahu Dila suka bercanda. Lagipula, semua orang di tim saling mendukung satu sama lain. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku."

Dia tersenyum tipis, dan aku merasa ada sedikit kepercayaan yang tumbuh di antara kami. "Terima kasih, Kak."

Sampai di depan rumahnya, aku merasa lega dan puas. "Terima kasih banyak, Kak, sudah nganterin," katanya sambil turun dari mobil.

"Sama-sama, Aiza. Hati-hati ya. Besok kita latihan lagi," kataku sambil melambaikan tangan.

Melihatnya berjalan menuju pintu rumah, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar hubungan pelatih dan murid. Mungkin, aku merasa terhubung dengan semangat dan dedikasinya. Mungkin, aku melihat bagian dari diriku sendiri dalam dirinya. Apa pun itu, yang jelas, perjalanan pulang bersama Aiza hari itu adalah awal dari sebuah ikatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah mengantarkan Aiza sampai rumah, aku melanjutkan perjalanan pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa lega karena bisa memastikan dia pulang dengan aman. Di sisi lain, percakapan kami dan kehadirannya meninggalkan jejak yang tak bisa diabaikan.

Sampai di rumah, aku memarkirkan mobil dan langsung masuk ke rumah. Suasana rumah yang tenang dan hangat seolah menyambut kepulanganku. Setelah menggantungkan kunci mobil di gantungan, aku duduk di sofa dan menghela napas panjang. Bayangan Aiza terus terngiang di pikiranku.

Aku mengambil gitar yang biasa menemani malam-malamku dan mulai memetik senar dengan lembut. Melodi yang biasa menenangkan pikiranku kini terasa berbeda. Ada perasaan baru yang menyelinap, membuatku merasa sedikit gelisah.

"Apa mungkin aku benar-benar tertarik pada Aiza?" tanyaku pada diri sendiri. Rasanya aneh, memikirkan seorang gadis yang baru beberapa bulan lalu bergabung dengan tim, sekarang menjadi bagian penting dalam pikiranku.

Aku memutuskan untuk mengalihkan perhatian dengan menghubungi teman lamaku, Aldi. "Hei, bro. Apa kabar? Ada waktu untuk ngobrol?" tanyaku ketika Aldi mengangkat telepon.

"Hei, bro. Lama nggak dengar kabar. Ada apa nih?" jawab Aldi dengan suara ceria.

Kami berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan hingga kenangan lama saat kuliah. Namun, di tengah percakapan, aku tak bisa menahan diri untuk tidak membahas Aiza. "Ada seseorang di tim yang mulai menarik perhatianku," kataku akhirnya.

"Oh ya? Siapa dia?" tanya Aldi, penasaran.

"Aiza. Dia baru beberapa bulan ini bergabung, tapi dia punya semangat dan dedikasi yang luar biasa. Dia juga sangat pintar dan rendah hati," jawabku sambil tersenyum kecil, meski Aldi tidak bisa melihatnya.

Aldi tertawa. "Kedengarannya kamu mulai suka sama dia. Itu wajar, bro. Kadang, seseorang datang dalam hidup kita tanpa kita sadari, dan tiba-tiba mereka menjadi bagian penting."

Setelah obrolan itu, aku merasa sedikit lebih lega. Aku mematikan ponselku dan kembali duduk di sofa, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Mungkin benar apa yang dikatakan Aldi. Terkadang, perasaan datang tanpa diundang dan meninggalkan jejak yang sulit diabaikan.

Aku melirik jam dinding dan menyadari bahwa sudah larut malam. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal, meski bayangan Aiza masih membayang di benakku.

Berbaring di tempat tidur, aku menatap langit-langit kamar. Pikiran tentang Aiza, senyumnya, dan semangatnya terus menghantui. "Mungkin ini hanya kekaguman," bisikku kepada diri sendiri, mencoba menenangkan hati.

Namun, jauh di lubuk hati, aku tahu bahwa perasaan ini lebih dari sekadar kekaguman. Aku memejamkan mata, berharap tidur bisa menghapus semua kegelisahan ini. Tapi malam itu, tidurku dihiasi mimpi tentang Aiza, seolah-olah hatiku sudah memutuskan meski pikiranku masih berusaha menyangkal.

Ketika pagi datang, aku terbangun dengan perasaan yang lebih jernih. Mungkin, aku harus menerima bahwa Aiza telah menjadi bagian penting dalam hidupku, dan itu bukan sesuatu yang harus aku tolak. Yang penting sekarang adalah bagaimana aku menghadapi perasaan ini dengan bijaksana, sebagai pelatih yang tetap profesional dan sebagai manusia yang jujur dengan perasaannya sendiri.

2.284 KMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang