"Di bawah langit senja, perasaan yang tak terduga mekar di hati bagaikan bunga liar, menghadirkan kehangatan dan kebingungan yang membelai jiwa dalam keheningan malam"
-Aiza Jelita Kamila-
Empat tahun yang lalu, aku, Fara dan Dila sepakat untuk mengikuti ekskul marching band yang diadakan sekolah. Bukan tanpa alasan, kami tertarik mengikuti ekskul ini karena penampilan memukaunya di acara penerimaan siswa baru minggu lalu yang berhasil menarik perhatian kami.
Siang itu, aku, Fara dan Dila bersama beberapa teman yang lain sedang istirahat disela-sela waktu latihan kami. Entah apa yang ada di otak Dila saat itu, tiba-tiba saja ia mengajukan pertanyaan ajaib.
"Kamu suka sama Kak Adnan ya, Za?"
Dila tidak tahu bahwa pertanyaan itu berpotensi membuatku harus dilarikan ke rumah sakit. Aku langsung tersedak es teh poci yang tengah aku nikmati.
"Eh, kamu kenapa, Za?" Fara langsung bangkit dari kursinya untuk menepuk-nepuk punggungku, berusaha meredakan batuk ku.
"Temen kamu nih, pertanyaan nya aneh banget!" omelku. Kerongkonganku terasa terbakar. "Kak Adnan kan pelatih kita, lagipula dia jauh lebih tua daripada kita, ya ga mungkin lah!"
"Ya kan kali aja, kalian berdua keliatan deket banget sih," sahut Dila.
Aku melotot. "Ga ada ya Dil, udah deh jangan aneh aneh!" tambahku.
"Ada apa sih ini ribut-ribut?" suara berat laki-laki itu menghentikan perdebatan kami, ternyata keributan tadi berhasil mengundang perhatian Kak Adnan yang aku ketahui sedari tadi sibuk dengan gitarnya.
"Aiza nih kak, dia suka sam..." sebelum Dila menyelesaikan perkataannya, aku buru-buru menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Aku tak tahu lagi apa yang ada di pikirannya saat ini.
Kak Adnan menatap ku heran. "Ngga kak, si Dila nih kemarin hampir kemakan racun tikus. Untung ketahuan mamanya, hehe."
Kak Adnan menggeleng heran dan pergi meninggalkan kami, untung saja ia percaya dengan perkataan ku tadi.
Aku melepaskan tanganku yang sedaritadi menutup mulut Dila. "Apa sih Za, tiba-tiba banget nutup mulut orang," Dila berdecak kesal.
"Yah habisnya kamu sih, mulutnya ga bisa dijaga banget. Gimana kalo sampe Kak Adnan tahu."
"Emang kenapa kalo Kak Adnan tahu? atau jangan-jangan kamu beneran ya? ciee..." goda Dila, Fara yang menyaksikan kami dari tadi hanya menggeleng heran.
Prittt....
Kak Adnan meniup peluit panjang tanda latihan akan kembali dimulai. Aku, Fara dan Dila beranjak dari tempat duduk kami untuk kembali ke lapangan. Hari itu benar-benar melelahkan, banyak gerakan baru yang harus kami hafalkan.
Setelah latihan selesai, langit sudah mulai berwarna jingga. Aku yang sedang membereskan perlengkapan tak menyadari Kak Adnan menghampiriku.
"Aiza, kamu pulang bareng siapa?" tanyanya sambil memasukkan beberapa buku kedalam tasnya.
"Oh, aku biasanya naik angkot, Kak," jawabku, berusaha terdengar santai.
Kak Adnan mengangguk. "Kebetulan, rumah kita searah. Mau bareng? Aku bisa antar kamu sampai rumah kalo kamu mau."
Aku tertegun sejenak. Tawaran itu tiba-tiba membuat perutku bergejolak dengan perasaan campur aduk. Dalam benakku, aku ingin menolak karena takut teman-teman akan salah paham. Tapi, di sisi lain, kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Lagipula, aku bisa menghemat ongkos jika menerima ajakan Kak Adnan.
"Terima kasih, Kak, tapi nggak usah deh. Aku nggak mau ngerepotin," kataku akhirnya dengan senyum sopan.
"Ah, nggak apa-apa, Za. Aku juga nggak buru-buru kok. Lagipula, ini juga demi keamanan kamu. Sore-sore gini agak bahaya kalau naik angkot sendirian, Dila dan Fara juga tadi kan udah pulang duluan," ujar Kak Adnan lagi, mencoba meyakinkanku.
Aku ragu sejenak, namun akhirnya menyerah. "Baiklah, Kak. Terima kasih ya."
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil cukup hening. Kak Adnan sesekali bertanya tentang sekolah dan latihan, dan aku menjawab seadanya. Namun, saat aku mulai merasa sedikit lebih nyaman, Kak Adnan menoleh padaku.
"Jadi, Aiza, kenapa tadi kamu tiba-tiba menutup mulut Dila?" tanyanya tiba-tiba.
Aku tersedak dalam diam. "Oh, itu... nggak ada apa-apa, Kak. Cuma iseng aja," jawabku cepat, berharap Kak Adnan tidak akan bertanya lebih lanjut.
Tapi Kak Adnan hanya tertawa kecil. "Kamu nggak perlu khawatir, Aiza. Aku tahu Dila suka bercanda. Lagipula, semua orang di tim saling mendukung satu sama lain. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku."
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Kak."
Perjalanan dilanjutkan dengan obrolan ringan tentang musik dan hobi. Ternyata Kak Adnan punya banyak cerita menarik tentang pengalamannya saat kuliah dulu. Sebelum aku menyadarinya, kami sudah sampai di depan rumahku.
"Terima kasih banyak, Kak, sudah nganterin," kataku sambil turun dari mobil.
"Sama-sama, Aiza. Hati-hati ya. Besok kita latihan lagi," katanya sambil melambaikan tangan.
Aku membalas lambaian tangannya dan masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku lega bisa pulang dengan aman, tapi di sisi lain, tawaran tumpangan dari Kak Adnan membuatku merasa sedikit berbeda. Mungkin, hanya mungkin, perasaan yang disebut Dila itu tidak sepenuhnya salah.
Sesampainya dirumah, aku langsung menuju kamar. Meletakkan tas di sudut dan duduk di tepi tempat tidur, otakku masih saja memikirkan perjalanan pulang dengan Kak Adnan tadi. Pikiranku terus berputar, menelusuri setiap kata dan senyum yang dia lontarkan sepanjang perjalanan.
Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan mengerjakan tugas yang diberikan Bu Dewi tadi, tapi otakku seakan menolak untuk fokus. Setiap kali aku menatap buku, bayangan Kak Adnan muncul di benakku. Suara tawanya, cara dia berbicara dengan tenang, dan perhatian yang dia tunjukkan saat mengantar pulang tadi, semuanya terngiang-ngiang di kepala.
Aku merasa canggung, bingung, tapi juga ada rasa hangat yang tidak bisa dijelaskan. "Apakah mungkin aku benar-benar menyukai Kak Adnan?" tanyaku pada diri sendiri, namun cepat-cepat menggelengkan kepala. "Tidak, dia kan jauh lebih tua. Lagipula, dia pelatihku."
Namun, penyangkalan itu tidak cukup kuat untuk menyingkirkan perasaan yang mulai tumbuh. Aku menghela napas panjang, berusaha mengendalikan diri. "Mungkin aku hanya kagum padanya," gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Malam semakin larut, aku berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Suara detak jam dinding yang monoton seakan mengiringi kerisauan hatiku. Dalam keheningan malam, aku mencoba menenangkan hati yang bergejolak.
Pikiran tentang Kak Adnan kembali menghantui. Ingatan tentang senyumannya, suaranya yang tenang, dan perhatiannya membuatku merasa hangat dan nyaman. Aku memejamkan mata, berusaha keras untuk tidur. Namun, perasaan itu semakin kuat, seolah menolak untuk diredam.
Akhirnya, aku menarik selimut dan memeluk bantal erat-erat. "Sudahlah, besok pasti semuanya akan kembali seperti biasa," bisikku kepada diri sendiri. Meski dalam hati, aku tahu bahwa perasaan ini tidak akan semudah itu hilang.
Malam itu, aku tertidur dengan bayangan Kak Adnan yang menghiasi mimpiku. Perasaan hangat dan canggung yang menyelimuti hatiku tidak kunjung sirna, membuatku semakin menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam antara aku dan Kak Adnan.
KAMU SEDANG MEMBACA
2.284 KM
Teen FictionAiza Jelita Kamila, yang akrab dipanggil Aiza, merasa sudah mengambil keputusan yang tepat dengan melanjutkan pendidikannya ke luar kota, menjauh dari kampung halamannya demi menjaga jarak dari Adnan, lelaki yang diam-diam ia cintai. Namun takdir be...