"Ketika kata-kata cinta terucap, ada hati yang bergetar. Terbelah dua antara kebahagiaan dan bayangan masa lalu yang terus menghantui."
-Aiza Jelita Kamila-
Hari ini cuaca di Jogja cukup cerah, tapi tidak dengan hati Aiza. Saat ia tiba di kampus, dia merasa ada sesuatu yang aneh. Alvin biasanya selalu ada di tempat mereka biasa bertemu, tapi pagi itu dia tidak terlihat di mana pun.
Aiza mencoba menelepon Alvin, namun tidak ada jawaban. Hatinya mulai khawatir. Ia memutuskan untuk menanyakan kepada teman-teman mereka, namun tidak ada yang tahu di mana Alvin berada.
Setelah beberapa jam, akhirnya Aiza mendapat pesan dari nomor Alvin. "Maaf, aku tidak bisa datang ke kampus hari ini. Aku sedang sakit. Jangan khawatir," bunyi pesan singkat itu.
Aiza merasa cemas. Ia tahu Alvin jarang sekali sakit, dan jika dia sampai tidak bisa datang ke kampus, pasti keadaannya cukup serius. Setelah kelas selesai, Aiza memutuskan untuk mengunjungi Alvin di rumahnya.
Sesampainya di depan pintu rumah Alvin, Aiza mengetuk dengan hati-hati. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan Alvin berdiri di sana, terlihat pucat dan lemah.
"Aiza? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alvin dengan suara serak.
"Aku khawatir, Kak Alvin. Kakak tidak terlihat baik. Aku datang untuk melihat keadaan Kakak," jawab Aiza dengan tulus.
Alvin tersenyum lemah. "Terima kasih, Aiza. Tapi kamu tidak perlu repot-repot. Aku cuma demam sedikit."
Aiza menggeleng. "Tidak, Kak. Aku ingin memastikan kakak baik-baik saja. Boleh aku masuk?"
Alvin mengangguk dan mempersilakan Aiza masuk ke dalam rumah. Ia membimbing Aiza ke ruang tamu dan duduk di sofa. Aiza melihat sekeliling, mencari tanda-tanda yang bisa membantunya merawat Alvin.
"Kakak sudah minum obat?" tanya Aiza sambil menatap Alvin dengan khawatir.
Alvin mengangguk pelan. "Sudah, tapi rasanya masih belum banyak membantu."
Aiza memutuskan untuk mengambil alih. "Baiklah, aku akan merawat Kakak hari ini. Kakak butuh istirahat yang cukup dan perawatan yang tepat. Di mana lemari obatnya?"
Alvin menunjukkan lemari obat di dapur, dan Aiza segera pergi untuk memeriksanya. Dia menemukan beberapa obat demam dan segera mempersiapkan dosis yang tepat untuk Alvin. Setelah itu, ia mencari handuk kecil dan membasahinya dengan air dingin, kemudian meletakkannya di dahi Alvin.
"Ini akan mungkin bisa membuat Kakak merasa lebih baik," kata Aiza sambil tersenyum lembut.
Alvin menatap Aiza dengan rasa terima kasih. "Kamu benar-benar perhatian, Aiza. Terima kasih."
Aiza duduk di sebelah Alvin, memastikan dia minum obat dan beristirahat dengan baik. Waktu berlalu, dan Alvin mulai terlihat sedikit lebih baik, meskipun masih lemah.
"Kamu tidak perlu berada di sini sepanjang hari, Aiza. Aku tidak ingin merepotkanmu," kata Alvin dengan nada pelan.
Aiza menggeleng. "Tidak, Kak. Aku ingin memastikan Kakak benar-benar sembuh. Aku bisa berada di sini selama yang dibutuhkan."
Mereka menghabiskan waktu bersama di ruang tamu, berbicara tentang banyak hal untuk mengalihkan pikiran Alvin dari rasa sakitnya. Aiza memastikan Alvin makan dengan baik dan minum banyak air.
Ketika malam tiba, Aiza memutuskan untuk tinggal lebih lama lagi. "Aku akan menginap di sini malam ini, Kak. Aku tidak akan tenang jika meninggalkan Kakak dalam keadaan seperti ini," katanya dengan tegas.
Alvin awalnya menolak, tapi melihat tekad Aiza, dia akhirnya setuju. "Baiklah, tapi pastikan kamu nyaman. Ada kamar tamu yang bisa kamu gunakan."
Malam itu, Aiza tidur di kamar tamu. Dia tetap terjaga beberapa kali untuk memeriksa kondisi Alvin, memastikan demamnya tidak kembali naik. Setiap kali Aiza datang untuk mengecek suhu tubuhnya, Alvin merasa bersyukur memiliki teman seperti Aiza.
Keesokan paginya, Alvin sudah terlihat lebih baik. Warna wajahnya mulai kembali dan dia bisa duduk dengan lebih tegak. "Aiza, kamu sungguh malaikat penyelamatku. Aku merasa jauh lebih baik sekarang," kata Alvin dengan senyum tulus.
Aiza tersenyum lega. "Aku senang mendengarnya, Kak. Tapi Kakak masih perlu beristirahat. Jangan memaksakan diri."
Hari itu, Aiza memutuskan untuk menemani Alvin di rumahnya, memastikan dia pulih sepenuhnya sebelum kembali ke rutinitas biasa. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara dan tertawa, membuat Alvin merasa lebih baik dengan setiap menit yang berlalu.
"Kamu tahu, Aiza, aku sangat beruntung memiliki teman sepertimu. Kamu selalu ada untukku, di saat-saat baik dan buruk," kata Alvin dengan nada penuh syukur.
Aiza menatap Alvin dengan penuh kasih. "Kita saling melengkapi, Kak. Itu yang membuat persahabatan kita istimewa."
Setelah beberapa hari perawatan yang penuh perhatian dari Aiza, Alvin akhirnya sembuh total. Ia kembali ke kampus dengan semangat baru, Alvin berterima kasih kepada Aiza atas semua perhatian yang sudah ia berikan.
"Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu, Aiza. Kamu telah melakukan banyak hal untukku," kata Alvin suatu hari saat mereka duduk di bangku taman kampus.
Aiza tersenyum. "Kakak tidak perlu membalas apa pun. Kehadiran Kakak sudah cukup. Kita saling membantu dan itulah yang terpenting."
Alvin tersenyum, hatinya hangat mendengar kata-kata Aiza. "Aku akan selalu mengingat ini, Aiza. Kamu sungguh teman yang luar biasa."
Aiza hanya tersenyum kembali, merasa puas melihat Alvin kembali sehat. Namun, di balik senyumnya, ia merasa ada sesuatu yang belum tuntas. Pikirannya terus kembali ke Adnan. Setiap kali ia melihat Alvin, perasaan bersalah itu muncul. Mungkin sudah waktunya ia berterus terang kepada Alvin tentang apa yang sebenarnya ia rasakan.
Namun, sebelum Aiza sempat mengatakan apa-apa, Alvin berkata, "Aiza, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku tidak ingin menyimpannya lagi. Kamu adalah orang yang sangat penting bagiku, lebih dari sekadar teman."
Aiza terkejut mendengar pengakuan Alvin. Jantungnya berdegup kencang, namun ia mencoba tetap tenang. "Apa maksud Kak Alvin?" tanyanya dengan suara lembut.
Alvin mengambil napas dalam-dalam. "Aiza, aku... aku menyukaimu. Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu. Selama ini, aku menyembunyikannya karena takut merusak persahabatan kita. Tapi, aku tidak bisa lagi berpura-pura."
Kata-kata Alvin menggema dalam pikiran Aiza. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa terharu dan bahagia mendengar pengakuan Alvin. Tapi di sisi lain, bayangan Adnan masih sangat jelas dalam pikirannya.
"Kak Alvin, aku sangat menghargai perasaan Kakak, dan aku berterima kasih karena Kakak sudah berani jujur. Tapi...," Aiza menelan ludah, matanya penuh kebingungan dan kesedihan, "Aku belum siap. Aku masih butuh waktu untuk memahami perasaanku sendiri."
Alvin menatap Aiza dengan cemas. "Apakah ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku?"
Dengan hati-hati, Aiza memilih kata-katanya. "Bukan begitu, Kak. Aku hanya butuh waktu. Ada banyak hal yang sedang kupikirkan dan rasakan. Aku tidak ingin membuat keputusan yang tergesa-gesa."
Alvin menghela napas panjang, mencoba memahami perasaan Aiza. "Terima kasih sudah jujur padaku, Aiza. Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tetap ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi."
Aiza merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. "Terima kasih, Kak Alvin. Terimakasih sudah selalu mengerti, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
2.284 KM
Dla nastolatkówAiza Jelita Kamila, yang akrab dipanggil Aiza, merasa sudah mengambil keputusan yang tepat dengan melanjutkan pendidikannya ke luar kota, menjauh dari kampung halamannya demi menjaga jarak dari Adnan, lelaki yang diam-diam ia cintai. Namun takdir be...