14. We Are Nothing

18 2 0
                                    

Warning: Only For 18+

Happy Reading

.

Entah berapa lama aku tertidur karena saat membuka mata, kepalaku rasanya pusing dan aku merasa mual. Semula semua benda bergerak sesaat setelah pertama kali aku membuka mata namun secara perlahan semua kembali normal namun sakit di kepala tidak berkurang sedikitpun.

Beberapa saat kemudian aku akhirnya tahu aku sedang berada di rumah sakit. Ada jarum infus yang terpasang di tangan kiriku. Aku berusaha bangun, mencabut paksa jarum yang tertancap di jariku. Kusibak semua tirai yang menghalangiku sampai semua orang yang ada di ruangan menatapku heran.

"Mbak, infusnya jangan dicabut dulu! Kondisi Mbak masih belum pulih." Kata perawat yang langsung menghampiriku sambil tergopoh-gopoh meninggalkan pasien lain di ranjang seberang.

"Sus mana anak saya? Ditto anak saya mana?" Aku menyeret kaki kananku yang terasa keram entah karena apa. Perawat yang kebingunan tidak menghiraukan aku, ia malah menuntunku untuk berbaring lagi di tempat tidur dan bersiap memasang kembali infusnya namun lagi-lagi aku menolak.

"Saya harus pulang. Saya harus ketemu anak saya sekarang juga."

Jo tiba-tiba datang sambil membawa kantong kresek yang aku tidak tahu apa isinya. Ia membelalak saat perawat melaporkan apa yang baru saja terjadi. Darah menetes dari luka bekas infusanku membuat titik titik di lantai marmer bersih.

"Kamu juga mau ikutan mati dan ninggalin Ditto? Iya? Kalau memang iya, nggak perlu dirawat dan nyusahin banyak orang. kamu boleh keluar dari sini sekarang." Jo membentakku dengan keras sampai seisi ruangan melihat ke arah kami.

Aku terdiam mendengar bentakannya, ulu hatiku terasà semakin pedih. Tidak bisa kubayangkan bagaimana nasib Ditto jika aku juga pergi dari dunia ini sementara hanya aku seorang yang Ditto punya dan itu semakin menambah pening di kepalaku.

"Jo. Ditto di mana? Gue mau ketemu sama Ditto." Aku langsung menarik kedua tangan Jo menanyakan bagaimana keadaan Ditto.

Jo menghela napasnya, "Ditto is fine. Ada Wisnu dan Hans yang menjaga dia di rumah. Dan kalau kamu mau ketemu dia, tunggu sampai infusnya habis dulu. Pikirkan bagaimana kamu bisa menjaga Ditto sementara kamu masih lemah dan nggak bisa jaga diri kamu sendiri? Dengan kondisi ello yang kayak gini hanya akan membahayakan Ditto saja." Ujarnya lagi kali ini volume suara tidak sebesar tadi.

"Ditto beneran baik-baik aja, kan?" Kupastikan sekali lagi.

Jo mengangguk yakin sambil menuntunku berbaring di ranjang pasien. Aku akhirnya mulai tenang sembari perawat mulai memasang kembali infus di titik yang lain setelah menutup lubang sebelumnya. Rasanya tentu saja sakit namun mendengar kalau Ditto baik-baik saja, aku bisa tahan sakitnya.

Akhirnya aku berbaring di ranjang sambil memunggungi Jo yang baru menutup kembali tirai pembatas antar pasien dan mendudukkan diri di satu-satunya kursi di sana. Beberapa menit kami tidak saling bicara dan tetesan infus terasa semakin lambat saja. Aku menarik selimut kecil agar bisa menutupi dadaku namun aku mulai sadar bahwa pakaianku berubah. Tadi pagi aku sangat yakin memakai kemeja kotak berwarna ungu dan celana jeans namun sekarang aku memakai baju pasien rumah sakit berwarna biru muda.

"Kamu yang gantiin baju saya?" Tanyaku setengah kuatir.

"Kamu gila?" Jo langsung mengalihkan wajahnya dari hape setelah jawaban sarkasnya, "Bukan saya tapi perawat yang tadi." Katanya lalu fokus kembali ke layar hapenya dan membuatku bernapas lega.

"Kamu nggak ingat apa yang terjadi tadi sampai bisa masuk rumah sakit?" Tanyanya lagi tanpa mengalihkan mata dari hapenya.

Kuputar badanku menghadap Jo, "Saya ingat ayah saya meninggal dan setelah itu gak ingat apa-apa lagi." Jawabku seadanya.

Young Mama (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang