2. Jalur Langit

477 19 5
                                    

Assalamualaikum🌷

Aku hanya menjaga diriku untuk seseorang yang sedang berjuang menyebut namaku dalam doa. Hei, semoga kita cepat bertemu ya...

-Aruna Kamila Ahmad

***

Pukul 22.30 Aham keluar kamar, berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.

"Belum tidur, nak?"

Aham menoleh, "ibu belum tidur?" Ucap Aham balik bertanya dengan mimik wajah terkejut saat mendapati sang ibu tengah duduk di kursi meja makan.

Hanum menggeleng, ditangan wanita itu terdapat segelas teh untuk menghangatkan tubuhnya karena suhu malam ini cukup dingin.

"Adikmu belum pulang, ibu belum bisa tidur."

Setelah mengisi penuh botol minumnya, Aham ikut duduk disamping Hanum. Meraih segelas teh milik wanita itu lalu menyeruputnya sedikit, sensasi manis bercampur hangat membasahi tenggorokannya, cuaca dingin seperti ini memang cocok minum yang hangat-hangat

"dikurangi pemakaian gulanya, Bu. Kalau bukan Ibu siapa lagi yang menjaga kesehatan diri Ibu sendiri?" Pesan Aham saat menyadari jika teh buatan Hanum terlalu manis.

"Sudah coba ditelepon?" Sambung Aham

"Sudah, tapi tidak diangkat."

Aham manggut-manggut "lebih baik Ibu tidur saja, biar Aham yang menunggu Ahmed pulang."

Hanum berdiri, melangkah menuju dispenser, mengambil sebotol air putih untuk dibawa kekamar. "Anak-anak Ibu sudah besar, Ibu rindu masa kalian kecil. Semuanya berkumpul dirumah ini," tutur Hanum sedikit menyentil perasaan Aham.

"Dulu, Mas Akram juga sama seperti Ahmed, suka pergi ke masjid sampai tengah malam." Hanum mulai bercerita,

"Saat Mas Akram meminta izin dengan ibu di dapur, kamu dengan cepat mengunci pintu lalu melempar kunci rumah itu kedalam akuarium milik Ayah."

Mimik wajah Hanum terlihat bersemangat saat menceritakan secuil kisah masa kecilnya itu, Aham ikut tersenyum sembari membayangkan tingkahnya yang konyol.

"Alhasil Mas tidak jadi pergi ke mesjid, kamu senang sekali saat itu karena rencanamu berhasil, tapi tidak dengan Ayah yang kesulitan keluar rumah karena ada acara doa bersama dirumah tetangga"

Hanum terkekeh, kedua matanya menatap langit-langit plafon, berusaha mengingat lagi masa-masa yang sudah lama berlalu. Sekarang ketiga putranya sudah tumbuh dewasa, sudah memiliki jalan hidupnya masing-masing. Mikail Akram sudah menikah setahun yang lalu dengan gadis pilihannya,

Hanum memandang Aham dengan tatapan teduh, membayangkan jika anak keduanya ini sebentar lagi akan meminang seorang gadis membuat Hanum sedih bercampur bahagia, sebuah perasaan yang sulit diartikan. Hal ini juga ia rasakan saat akan melepas Akram untuk menemui cintanya.

"Aham berjanji sama Ibu,"Hanum meraih tangan Aham "jangan pernah menyakiti istrimu, hargai dan hormati dia sebagaimana Ayah memperlakukan Ibu selama ini, ya..."

Aham mengangguk mengerti, "iya, Bu. Aham berjanji"

Hening beberapa detik, Aham segera memeluk Ibunya erat.

"Bu," panggil Aham lembut

"Ya, nak?"

Aham mengeratkan pelukannya pada sang ibu "Aham izin sebut nama Runa di sepertiga malam boleh, bu?"

Hanum mendongak, mengusap lengan Aham yang berada dibawah lehernya, "boleh dong, nak"

Mendengar itu Aham tersenyum lega, ia selalu mengingat sebuah hadist riwayat yang menyebutkan 'Ridho Allah tergantung pada ridho Orang Tua, kemurkaan Allah tergantung pada kemurkaan Orang Tua'

Meraih Cinta ArunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang