9. Menunggu Jawaban itu

413 15 4
                                    

Selamat Membaca~


***

"Bagaimana, Kak? Apakah Kakak bersedia untuk bergabung di perusahaan kami?"

"Sebentar," Aham mengangkat telapak tangannya saat dering telepon tak henti-hentinya berbunyi sejak beberapa menit yang lalu.

Mas Akram is calling...

Saat membaca nama yang tertera di layar, Aham mengerutkan dahinya heran. Tidak seperti biasanya Kakaknya itu menelpon di jam-jam kerja seperti ini. Apakah ada sesuatu yang penting?

"Maaf saya izin angkat telepon sebentar," Ucap Aham kepada para tamu di ruang kerjanya.

"Iya silahkan, Kak." Aham berdiri seraya mengangguk kecil kemudian berjalan keluar ruangan untuk mengangkat telepon.

Aham menggeser ikon terima telepon sembari menutup pintu, mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. Entah mengapa, suasana menjadi sedikit panas sehingga Aham tampak melonggarkan ikatan dasinya yang terasa mencekik.

"Assalamualaikum, Ham?"

Aham berdeham "Wa'alaikumussalam, Iya Mas? Maaf Aham baru sempat mengangkat telepon dari Mas Akram."

"Lagi sibuk?"

"Tidak juga, cuma ada sedikit kerjaan tapi sebentar lagi selesai. Ada apa Mas?"

"Ham,"panggil Akram. "Ibu sudah memberitahu soal lamaranmu sama Mas,"

Aham menggaruk tengkuknya nya yang tak gatal, "Maaf, Mas harus dengar dari Ibu. Aham tidak berniat menyembunyikannya dari Mas Akram, niatnya Aham mau memberi kejutan saja nanti tapi ternyata Ibu sudah bocor duluan." Ujar Aham sambil mencoba mencairkan suasana, ia takut jika Kakak laki-lakinya itu kecewa padanya.

Akram terkekeh "tidak masalah, Mas mengerti. Bagaimana hasilnya? Apa sudah dapat kepastian dari perempuanmu?"

Saat kata'perempuanmu' terlontar, Aham senyum-senyum sendiri. Astaghfirullah! Sadar Aham.

"Belum, Mas." Jawabnya

"Tidak papa, tunggu saja. Biar kamu merasakan bagaimana rasanya di gantung oleh perempuan." Celetuk Akram di akhiri tawa kencang

"Tapi Aham tidak pernah menggantung perasaan seorang perempuan, Mas. Jadi untuk apa Aham merasakannya, seperti karma saja."

Suara tawa semakin terdengar kencang di seberang sana. Aham mengetuk-ngetuk pelan ujung sepatunya di lantai koridor kantor. Perasaan khawatir karena tidak enak dengan tamu yang di tinggal cukup lama di dalam ruangan membuat Aham sedikit gelisah.

"Hei, kamu lupa ya sama Jamila?" Akram bersuara lagi

"Mas, itu sudah lama! Lagi pula itu waktu Aham tk." Protes Aham saat Akram mencoba mengingatkan masa kecilnya yang sempat bermain pacar-pacaran dengan Jamila,  anak pak Rt.

"Pak Abraham, apa masih lama menerima teleponnya?" Ucap Taqy pelan

Aham mengangguk pada Taqy, memberikan sebuah isyarat agar menunggu sebentar lagi. Ia juga tidak bisa asal memutuskan panggilan begitu saja,

"Mas, Aham sedang ada tamu di kantor. Nanti setelah selesai Aham hubungi lagi, bisa?"

"Ah iya-iya Ham. Maaf sudah menganggu waktu bekerja mu."

"Oh iya, tunggu dulu!" Aham yang hendak mengucapkan salam itu pun menahan suaranya. Menunggu Akram melanjutkan ucapannya.

"Kamu sudah memberitahu Nenek soal lamaranmu, Ham?"

Meraih Cinta ArunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang