Chapter - 11
Ting tong!
Tepat saat aku baru saja menginjak anak tangga terakhir, suara bel dari arah depan menarik perhatianku untuk menghampiri dan kemudian membukakan pintu.
"Heii?" Senyum cerah Kak Bian langsung menyambutku didepan pintu.
"Hai juga Kak Bian," balasku sekenanya.
"Ntar malem mau keluar nggak?"
Aku mengerutkan kening, "Enggak, sih kak. Kakak mau ditemenin keluar?"
"Mau nyoba ayam gepuk baru di lorong depan sih, rencananya. Lo mau ikut nggak?"
"Di traktir dong?" Tanyaku sembari cengengesan. Walaupun aku tahu jawabannya sudah jelas kalau aku bakal di traktir. Tapi, memastikan supaya lebih jelas kan tidak ada salahnya. Hehe.
"Iya di traktir. Tapi teh es doang ya, ayam gepuk nya lo bayar sendiri," Kak Bian terkekeh riang. Aku tahu Kak Bian hanya bergurau.
"Iya deh nggak-papa. Ntar paling, aku ngelihatin kak Bian makan ayam gepuk aja."
"Iya bagus tuh," Sahut kak Bian lagi, "Ntar sambil makan, gue langsung review rasanya ke lo. Jadi walaupun nggak ikut makan lo tetep tau rasanya."
"Kurang ajar!" Balasku berlagak kesal. Lagi-lagi dapat ku pastikan, setiap geram denganku kak Bian pasti akan mengacak-acak rambutku sampai mirip rambut mak lampir.
"Oke, sip! Jam 8 harus udah siap ya!"
"Bodo amat! Males, di traktir teh es doang."
"Dasar tukang minta!" Ejek kak Bian sembari mendorong pelan bahuku menggunakan jari telunjuknya.
"Biarin!" Aku munjulurkan lidahku dan detik selanjutnya leherku langsung di kunci oleh lengan kak Bian. Aku menjerit-jerit sambil pura-pura batuk tapi Kak Bian tidak mau melepaskan. Tentu dia tahu kalau aku hanya berpura-pura tercekik.
"Mama tolong mamaaaaa!!"
"Tanteee! Luna melet-melet kayak setan!"
"Ih, kurang ajar ya kak Bian! Lepasin nggak!!"
"Nggak mau."
"Lepasiiiin!!"
"Harus ada imbalannya dulu dong, baru bisa dilepasin."
"Imbalan?" Tanyaku yang langsung tahu makna tersiratnya. "Iya-iya, ntar bayar ayam gepuk-nya nggak minta traktir."
"Bukan itu," balas kak Bian santai.
"Jadi?"
Bukannya melepaskan pitingan lengannya di leherku, kak Bian malah terkekeh pelan lantas berbisik tepat ditelingaku. "Jadi pacar gue dulu, baru gue lepasin."
Aku nge-lag seketika.
Aku tidak salah dengar, kan?
"Kenapa, sih? Ribuuttt melulu. Berisik banget tau nggak sih!"
Tepat saat Lavina datang dengan suara judes khas nya, kak Bian langsung melepaskan pitingannya di leherku.
"Apa sih lo, bocah?" Aku membalas sinis.
"Pacaran mulu! Nyuci piring sana! Hari ini jadwal kak Luna yang nyuci piring, kan?"
"Dih, ngatur!"
Seolah tidak menggubris cemoohanku barusan, kini si bocil kematian dengan tingkah centilnya langsung menggandeng lengan kak Bian, "Tadi katanya, tante mau buat kolak pisang pakai durian, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Love
JugendliteraturDiam kan bukan berarti aku nggak se-suka itu sama Atlas. Aku mencintainya bertahun-tahun, dalam diam. Nggak banyak yang tau tentang itu karena pada awalnya pun, aku nggak pernah membayangkan kalau cintaku akan terbalaskan. Tapi kenapa semakin kesini...