9 - Mind Blowing

152 6 0
                                        

Chapter - 9

Rasanya seperti ada blink-blink yang bertaburan menempeli tubuhku dari atas sampai bawah. Senyumku merekah sempurna sambil beberapa kali memasang pose-pose di depan cermin full body, punyaku. Dari mulai gaya sok imut, sampai gaya sok cool, atau malah mempraktikkan gaya senyum miring andalan Atlas, ah, satu lagi, gaya tersenyum Kak Bian yang selalu sambil geleng-geleng kepala itu.

Di luar sana aku mendengar suara Lavina yang sedang cerewet tentang kaos kaki yang katanya sudah bolong-bolong semua. Padahal tinggal bilang mau minta uang buat beli kaos kaki baru saja, apa susahnya?

For your information, hari ini aku sepatu baru! Aaaa, senangnya. Bunda tahu saja kalau sepatuku sudah lusuh dan sudah waktunya untuk diganti.

Hari ini rambut lurusku ku percantik, dengan style kepang prancis miring, seperti Elsa Frozen. Ah, aku charming sekali, sih? Tapi herannya, kok nggak ada cowok ganteng yang suka kepadaku, ya?

Aneh! Padahal kan, aku nggak kalah cantik dari cewek-cewek lain.

"Nggak! Sekali Bunda bilang enggak, ya enggak. Kamu ini bandel banget, sih. Ngapain coba anak perempuan ikut-ikutan Silat?"

Baru saja aku turun dari lantai dua menuju ke meja makan berniat sarapan, suara Bunda khas sedang mengomel langsung disambut jelas oleh indra pendengaranku. Bukan bahas soal kaos kaki lagi, ternyata. Sudah topik lain.

"Emangnya anak perempuan nggak boleh ikut silat? Boleh, lho, Bun. Malah wajib buat penjagaan diri."

Ooh, ternyata Lavina sekarang sedang merayu Bunda supaya dibolehkan ikut Silat. Pasti karena Dimas. Sudah bisa ku tebak.

"Kamu nggak usah yang aneh-aneh, ya, Lav. Ayah pasti marah besar kalau kamu ikut begituan." Bunda mondar-mandir memindahkan lauk.

"Kenapa sih, Bun?" Aku menyendok nasi goreng dan rendang sapi ke atas piringku. Hari ini aku harus sarapan nasi, karena ada pelajaran yang cukup menguras energi.

"Ini, si Lavina, sok-sokan minta Bunda buat bujuk Ayah, supaya dibolehkan ikut silat. Ngapain, coba? Udah latihannya malem-malem, anak perempuan lagi."

"Nggak selalu malem terus, kok, Bun.. latihan malemnya cuma di hari tertentu aja," potong Lavina langsung, kini tatapan bocah itu memasang tampang memohon kepadaku seolah bilang, "Tolong bantuin bujuk Bunda, dong.."

Aku pura pura tidak melihat. Maaf ya, Lav. Aku tidak mau ikut campur. Yang ada aku yang bakalan diomelin.

"Enggak!" Ucap Bunda, sangar.

"Ayolah, Bun, masak nggak boleh, sih?"

"Enggak, Lavina! Ngomong sama kamu itu harus gimana, sih, supaya bisa ngerti?"

"Bundaaa," Lavina masih merengek, sedang Bunda sudah tampak ogah menanggapi.

"Enggak! Nggak ada silat-silatan!"

Di akhiri dengan wajah lunglai, Lavina langsung cemberut sambil menghentak-hentakkan kakinya pergi dari ruang makan, nasi goreng nya bahkan tak tersentuh sedikitpun.

"Bunda tau, kok, kalau Lavina itu ikut silat bukan karena beneran keinginannya," kata Bunda santai, membiarkan Lavina melewatkan sarapannya, padahal biasanya beliau akan berteriak nyaring kalau kami melewatkan sarapan.

"Maksud Bunda?"

"Lavina itu lagi kasmaran. Cinta monyet sama Dimas, jadi semua yang Dimas lakukan, dia pun, pengin ikut lakukan juga."

Aku manggut-manggut, kalau begini, rahasia Lavina sudah tidak ada yang ku pegang lagi, dong. "Kok, Bunda bisa tau?"

Bunda berdecak, "Kalian jangan pada ngeremehin Bunda makanya."

Silent LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang