3 - Bocil Kematian

392 69 509
                                    

Chapter - 3

Rasanya sedikit terlambat kalau sekarang aku memulai perkenalan diriku. Seperti yang kalian tau. Namaku Laluna Marissa, aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku dan satu lagi, adik perempuanku. Namanya, Lavina Agrita. Aku nggak punya hal baik yang harus dikatakan untuk memuji adikku itu. Karena dia memang nggak berpotensi.

Ayahku pemilik sebuah bengkel mobil yang nggak seberapa, dan Bundaku ibu rumah tangga biasa yang punya usaha barang dapur mahal : tupperware. Secara online.

Kalian juga kan, sudah tau. Kalau aku punya crush, jodoh impianku di masa depan. Ya, siapa lagi, kalau bukan Atlas. Hehe.

Aku punya akun menulis di sebuah platform daring. Pakai nama samaran. Meski pengikutnya sedikit, aku nggak terlalu mementingkan itu, sih. Setidaknya aku punya tempat untuk menuangkan hobi ku.

Not bad, lah. Meski nggak ada yang menarik. Aku juga nggak pernah bilang ke siapapun tentang ini, karena terlalu malu.

Masih dengan aksiku yang mengetik tombol-tombol laptop dengan lincah, ada senyuman yang selalu saja ku sunggingkan saat sedang menuangkan segala imajinasiku ke kertas digital ini. Dapat kurasakan juga detak jantungku yang berdebar nyaman. Intinya aku melakukan semua ini dengan rasa senang. Aku menaruh semua perasaanku di dalamnya.

Brak!

Brak! Brak! Brak!

"Ih, ada manusianya nggak sih, ini, didalem?!"

Senyumku langsung sirna, digantikan dengan umpatan-umpatan yang hampir saja lolos dari mulutku.

"KAK LUNA NGGAK MAU IKUT MAKAN MALAM, BUN!"

Aish!

Padahal bocil kematian itu belum bicara apapun kepadaku. Sialan emang!

Buru-buru ku simpan hasil tulisanku ke dalam sebuah file yang ku beri judul : Atlas.

Yap, benar! Aku sedang menuangkan kisahku dan Atlas dalam sebuah diary public yang ku unggah dengan akun samaran. Lagian, Atlas juga nggak akan mungkin membacanya. Mengingat minat membaca di kalangan cowok itu, cuma sepuluh persen. Atau, malah kurang dari itu.

"Luna.."

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku dari laptop. Suara berat Ayah yang khas terdengar lembut menyuarakan namaku.

"Saya, Yah!" Aku berteriak dan segera berlari menghampiri pintu yang sengaja ku kunci.

"Kenapa nggak mau makan malam?" Tanya Ayah saat sosokku muncul di ambang pintu yang barusan ku buka.

"Siapa bilang?" Kataku balas bertanya menjawab pertanyaan Ayah. Padahal aku jelas tau siapa orangnya.

"Yaudah, nggak perlu di perpanjang." Kata Ayahku, sebelum menuruni tangga lebih dulu. Dapat ku lihat wajah jelek Lavina yang terlihat seperti monyet. Dia sok-sokan memasang muka jelek mengejekku. Padahal itu sama sekali nggak perlu, mengingat mukanya yang memang sudah jelek dari lahir.

"Jangan gitu, Lav. Muka lo kayak kodok zuma jadinya. Udah bagus mirip monyet kayak biasanya."

Lavina melotot tak terima, tapi hanya ku balas dengan senyum miring yang jelas mengejeknya.

Silent LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang