7 - Topi Atlas

231 33 135
                                        

Chapter - 7

Senin pagi adalah sebuah hari yang paling dibenci oleh banyak orang di sekolah ini. Selain harus ikut upacara dan mendengarkan pidato Pak Sopan--kepala sekolah SMA Gemilang--yang kalau memulai pidato pasti bilangnya hanya sebentar, eh, tahu-tahunya sampai hampir dua jam. Pokoknya harus ada siswi yang pingsan terlebih dahulu, baru beliau mau mempersingkat pidatonya yang sebenarnya hanya berputar-putar ke arah situ-situ saja.

Belum lagi hari senin adalah tempat berkumpulnya pelajaran yang mampu membuat asam lambung naik sampai lima oktaf. Seperti, Matematika, Kimia, Fisika, dan bahasa Inggris. Itulah gunanya guru-guru selalu menghimbau para siswa agar selalu sarapan pagi.

Sebenarnya sejak bagun pagi aku sudah sarapan omelan Bunda, gara-gara lupa mencuci sepatu-ku yang nggak seberapa itu, sudah dari awal masuk belum di ganti-ganti. Memang belum rusak dan masih tampak bagus, tapi aku bosan. Pengin beli sepatu baru. Padahal minggu ini adalah tugas Lavina yang mencuci sepatu. Ban motorku pun, kempes, dan setelah diperiksa Ayah, katanya bocor halus, tertusuk jarum. Lagian motorku itu kata Ayah sudah waktunya diservice sejak berminggu-minggu lalu, tapi tak kunjung kubawa ke bengkel.

Padahal Ayahku pemilik bengkel mobil, tapi oli motor anak gadisnya sekarat. Ayahku pun, ikut mengomel. Dan gara-gara motor ini, Lavina juga ikut mengomel kepadaku, dia menyalahkanku, dan tidak mau naik angkutan umum. Katanya, takut mabuk dan belum pernah. Banyak alasan, ujung-ujungnya dia berlari kedepan dan merayu-rayu Dimas supaya dikasih tumpangan. Dasar bocah centil itu.

Akhirnya aku pergi sekolah naik angkutan umum dan sampai ke sekolahku tepat saat bel berbunyi. Itulah kenapa aku benci datang terlambat, karena pasti bakalan jadi virus. Pokoknya kalau sekali saja kamu datang terlambat ke sekolah, besok-besok pasti bakalan terlambat lagi.

Tidak sampai disitu kesialanku pagi ini. Rasanya aku ingin menangis saat tersandung batu dan jatuh telungkup di atas rumput. Dalam beberapa detik tidak ada manusia yang membantuku berdiri, mereka saling tatap dan sibuk berusaha menahan tawa, meski akhirnya aku tetap ditolong, tapi aku tidak akan pernah melupakan wajah-wajah manusia yang menertawakanku. Pokoknya sial banget, pagi ini. Sial banget!

Aku bahkan tidak tahu, ini kesialanku yang terakhir atau bagaimana, yang kutahu, aku meninggalkan topiku di garasi, tepatnya di atas spion motorku saat aku sibuk melihat Ayah memeriksa ban motorku beberapa waktu lalu. Kalau aku berada di dalam sebuah game, pasti sudah ada suara perempuan yang meneriakkan kata 'excellent,' aku jadi bertanya-tanya, ini aku lagi kena azab apa gimana, ya? Kok menyedihkan banget.

Upacara belum dimulai, padahal matahari sudah setinggi dan secerah itu. Aku baris di bagian belakang siswa yang tidak mentaati peraturan sekolah, karena tidak memakai topi. Mataku sudah berkaca-kaca sejak tadi, hingga akhirnya aku menunduk menahan tangis. Tapi sepertinya terlambat, karena aku sudah terlanjur menangis sebelum sempat kutahan.

"Cengeng banget, baru sekali baris dibarisan orang yang kena hukum udah langsung nangis aja."

Aku buru-buru mengusap air mataku yang sudah terlanjur meleleh. For your information, aku bukan menangis karena baris dibarisan siswa yang tidak mentaati peraturan, melainkan menangis meratapi kesialan yang terjadi pagi ini. Oh, Tuhan! Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, kenapa harus Atlas yang melihatku menangis?

Aku tidak mau menoleh sedikitpun, bahkan melirik wajah Atlas, meski sekilas. Aku malu.

"Lo jatuh dari motor lagi?"

Silent LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang