31. Hot News

792 86 158
                                    

Next chapter : 150 COMMENTS (no spam next)!

♥️🖤♥️

Dia tidak terjaga. Sempat larut dalam pejam, tapi inderanya terbagun ketika rambutnya dibelai halus. Jemari panjang itu bergerak dari puncak kepala dan turun ke rambut di belakang telinga. Gerakan itu seolah meninabobokan.

Nyaris dia kembali dalam lelapnya ketika jemari itu menyingkapkan anak-anak rambut yang melekat berantakan di sekitar telinga, rahang, hingga lehernya. Seiring jemari itu turun, semakin terasa pula sentuhannya.

Bukan jemari halus. Ini... kuku-kuku. Panjang dan tajam. Perlahan menancap di leher sampai rasanya mampu menembus kulit.

Quinzel mulai sesak ketika belaian halus itu berubah menjadi cekikan yang memberi tekanan kuat pada lehernya, menahan suaranya tetap di tenggorokan. Rasa dingin yang menjalar dari ujung kaki membuat Quinzel menyadari apa ini.

Tidak lagi. Dia ketindihan lagi.

Dadanya semakin berat. Tubuhnya semakin sulit untuk digerakkan. Lumpuh, padahal kesadarannya semakin terkumpul.

Buka saja dulu matanya. Otak Quinzel memerintahkan begitu. Perintah yang dia rasa adalah godaan untuk terperangkap dalam ketakutan, tapi insting bertahan hidup mengambil alih kuasanya untuk menuruti perintah.

Begitu Quinzel membuka mata yang terasa berat, tampaklah makhluk itu. Tepat di atas wajah Quinzel. Rambutnya terurai begitu panjang hingga menenggalamkan wajah Quinzel dalam presensinya. Sesak kian menjadi seolah ruang yang diberikan pada Quinzel semakin sempit.

Quinzel mungkin hanya tinggal seinci dari wajah di dalam rambut panjang ini, tapi rupanya bukan wajah yang ditemui Quinzel, melainkan kegelapan. Makhluk bergaun putih panjang di atas Quinzel ini tak punya wajah. Entahlah jika wajah itu hanya tersembunyi di dalam rambut panjangnya. Tapi, bahkan jika ada, apakah Quinzel punya keberanian untuk menyingkapkan?

Gelap semakin melingkupi sampai rasanya mata Quinzel dipaksa menutup. Di kesempatan itu, Quinzel lafalkan doa apa saja yang dia ketahui, mantra, puisi, apa saja yang ada dalam kepalanya.

Akhirnya pelan-pelan dia bisa menggerakkan tangannya. Susah payah dia bawa tangannya ke leher, berusaha melepaskan cekikan jemari panjang dari lehernya.

Quinzel tak kunjung berhasil. Ini begitu kuat. Quinzel meronta dengan sisa-sisa tenaganya. Tanpa sadar, dia mencakari tangan-tangan panjang itu. Dia menangis, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata di ujung matanya.

Lantunan tajam berupa rintik hujan yang kian lama kian deras menggedor jendela, memukul-mukul gendang telinga, menambah perjuangannya yang kian sengit dalam pertarungan dengan makhluk yang menindihnya ini. Quinzel gentar luar biasa kala gelap menyelubungi penglihatannya. Hawa panas menyusup ke dalam dirinya di tengah dinginnya gempuran hujan.

Dia semakin lemah. Namun, sisa-sisa raganya menolak untuk menyerahkan jiwanya pada makhluk kegelapan ini.

Sepersekian detik sebelum maut mendekati, Quinzel paksa dirinya untuk bertarung lebih kuat hingga dapat meloloskan jeritan melengking seraya dia bangkit dari tidurnya, otomatis mendorong makhluk itu menjauh. Dia terduduk, hendak maju menyerang makhluk yang menindihnya itu sampai tubuhnya tertahan oleh kuncian kuat di leher. Saat penglihatannya sepenuhnya kembali, dia tak temukan apa pun di atas atau di depannya.

Tapi, kenapa lehernya masih terasa dicekik?

Quinzel menunduk. Bukan jemari dengan kuku-kuku panjang yang dia temukan, melainkan jemarinya sendiri. Memegang kuat collar yang terbuat dari kayu dilapisi kulit.

A Living Hell: Déville's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang