Empat

15.5K 774 4
                                        

Aku berlari menjauhi sekolah serta meninggalkan Putri, Rani, dan Ihsan. Ihsan mengejarku. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan kami. Karena aku sudah merasa ini seperti FTV, aku berhenti dan memberanikan diri untuk melihat ke arah Ihsan. Ihsan memberikan isyarat memohon padaku untuk masuk ke mobilnya. Aku pun hanya mengikutinya.

Ihsan mengajakku ke taman dekat komplek rumah kami yang sering aku, dia, dan sahabat-sahabat kami datangi sepulang sekolah saat SD dulu.

"Kenapa lo tiba-tiba pergi?" tanyaku to the point.

"Gua mau jujur sama lo." ucap Ihsan yang duduk di sebelahku.

"Apa?"

"Se-sebenarnya, gua mengidap kanker paru-paru." jawabnya yang membuatku sangat terkejut.

"Jadi waktu itu-" aku mencoba mengingat masa lalu.

"Waktu itu gua pergi tiba-tiba karena harus di oprasi. Jadi gua langsung ke rumah sakit di Spore lalu stay di Jakarta. Dan gua kesini untuk-" ucapnya berhenti.

"Untuk apa?"

"Semalem gua telepon Denny untuk nanya kabar lo, disitu dia langsung marah-marah karena gua pergi tiba-tiba dan nggak ada kabar sama sekali. Dia cerita semua tentang lo. Lo yang sedih, lo yang kecewa, pokoknya semua keadaan lo. Dan sekarang gua kesini untuk minta lo ngelupain gua."

Aku hanya diam. Benar-benar terdiam. Aku menahan tangis sebisaku. Aku hanya memejamkan mataku. Mencoba terlihat baik-baik saja.

"Kenapa?" Untuk menyebutkan sepatah kata pun rasanya sangat sulit bagiku saat ini.

Aku berdiri disusul Ihsan yang juga berdiri dan menghadapku.

"Sorry, Ra. Lo nggak akan bahagia kalau terus seperti ini. Sumpah demi apapun gua sayang lo, tapi takdir mungkin nggak mengizinkan kita bersama. Gua mau lo bahagia. Cuma itu."

"Sejak kapan lo bisa nentuin dengan siapa gua bisa bahagia? Hah!" Seruku yang terisak.

Ihsan memelukku. Pelukannya sangat hangat. Aku melihat mobil kak Rey yang sudah terparkir tepat di belakang mobil Ihsan. Tiba-tiba aku merasakan tubuh Ihsan yang tak berdaya dipelukanku. Kak Rey yang melihat langsung berlari ke arah kami dan membantu Ihsan, lalu memasukkan Ihsan ke mobilnya. Kami langsung ke rumah sakit.

Aku menganbil HP Ihsan dari saku celananya. Lalu mencari nomor papa Ihsan di phonebook-nya.

"Hallo, om!" Seruku panik.

"Iya, ada apa ya? Ini siapa?" tanyanya.

"Ini Tyara, om. Om, sekarang Ihsan pingsan, kami sedang menuju rumah sakit om."

"Tolong jaga Ihsan, Tyara. Lakukan yang terbaik, kami akan kesana secepatnya."

Kami tiba di rumah sakit keluargaku. Ihsan langsung dibawa ke IGD. Aku menelepon papa menggunakan telepon rumah sakit.

"Hallo, pa! Cepat ke IGD, Ihsan..Ihsan..." Aku tak dapat membendung tangisku.

"Papa segera kesana."

Aku tak henti menangis. Mengapa disaat aku bertemu lagi dengannya, seseorang yang aku tunggu sejak lama harus seperti ini, batinku. Kak Rey terus menenangkanku. Dia memelukku, pelukannya hangat seperti kala kak Alvin dan Ihsan memelukku. Papa datang, tanpa menunda lama papa langsung masuk ke ruangan.

Mama dan beberapa asistennya datang. Mama yang melihatku menangis langsung memelukku.

"Jangan menangis lagi, nak. Papa pasti berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Ihsan. Percaya sama mama."

"Tapi ma, Ihsan sedang kritis di dalam."

Mama memelukku lebih erat.

"Mama yakin Ihsan orang yang kuat, dia pasti bisa melewati masa kritisnya. Mama sekarang harus pergi menggantikan papa, mama usahakan akan kembali secepatnya. Rey, tolong jaga Tyara ya!"

"Iya, tante." balasnya.

Mama dan beberapa asistennya keluar dan memasuki mobil yang telah disiapkan. Aku kembali menangis. Sekitar 20 menit kemudian papa keluar. Aku yang dibantu kak Rey menghampiri papa.

"Gimana keadaan Ihsan, pa?" tanyaku yang masih terisak.

"Dia sudah siuman, tapi keadaannya masih kritis, nak." jawab papa, "dimana om Teguh dan tante Anna?"

"Kata om Teguh mereka akan segera datang. Apa aku boleh masuk, pa?"

"Kamu sudah boleh masuk tapi jangan biarkan Ihsan banyak bicara. Papa ke ruangan dulu ada yang harus papa ambil. Papa juga akan menelepon om Teguh."

Papa bergegas ke ruangannya. Sedangkan aku dan kak Rey masuk ke ruang IGD. Aku duduk di kursi samping brangkar Ihsan. Sedangkan kak Rey berdiri di sebelahku. Ihsan menggenggam tanganku. Oksigen masih terpasang untuk membantunya bernapas. Ketika Ihsan menggenggam tanganku, aku melihat ke arah kak Rey yang sedang mengalihkan pandangannya dariku.

"Ra, udah jangan nangis lagi." pintanya lembut.

"Please, jangan banyak bicara dulu."

"Mungkin waktuku memang nggak lama lagi, aku mohon jangan nangis lagi, jangan menangis kalo alasan tangis itu aku."

"Nggak akan."

"Harus! Life must go on, Ra." Dia mengeratkan jemarinya di jemariku.

"Tapi aku sayang kamu. Berapa kali sih aku harus ngomong, San?" Ucapku yang masih menangis. Dia hanya memejamkan matanya.

"Aku juga sangat menyanyangi kamu. Berapa kali juga aku harus ngomong ke kamu kalau aku nggak mau lihat kamu sedih, kalau kamu seperti ini terus aku akan merasa sangat bersalah."

Tuhan, tolong jangan biarkan aku menangis dihadapannya sekarang...

"Rey, tolong jaga dan lindungi Tyara." pinta Ihsan pada kak Rey.

"Kamu tau kak Rey?" tanyaku.

"Aku tau dari kak Alvin."

"Kak Alvin?" tanyaku terkejut.

"Kak Alvin udah cerita semuanya."

Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Tak lama orang tua dan adik perempuannya datang. Mereka sangat mengkhawatirkan Ihsan. Aku dan kak Rey menunggu di luar. Papa kembali ke ruang IGD. Aku menghampiri adik Ihsan, Dinda. Umur aku dan Dinda hanya berbeda setahun dan dua tahun dengan Ihsan.

"Dinda! Ihsan kenapa?" tanyaku panik yang melihat Dinda terisak.

****
Marhaban Ya Ramadhan, readers!

Senior High LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang