"Pe-penyakit..kak Ihsan..." sebelum dia melanjutkan ucapannya, aku segera memeluknya. Dinda menangis dipelukku.
Orang tua Ihsan juga menangis, terutama tante Anna yang sedang dipeluk om Teguh. Setelah cukup lama kami menunggu, akhirnya papa keluar. Kami semua menghampiri papa.
"Bagaimana keadaannya, Ar?" tanya om Teguh.
Orang tuaku dan orang tua Ihsan memang saling mengenal dekat.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin..." jawab papa.
Ketika papa berkata seperti itu, rasanya tubuhku sangat tak berdaya, paru-paruku rasanya sangat sesak, air mata sudah membasahi wajahku. Aku terjatuh. Kak Rey membantuku. Keluarga Ihsan segera masuk ke ruangan itu. Sedangkan papa mengurusi semua keperluan. Jenazah Ihsan akan dibawa menggunakan pesawat pribadi milik rumah sakit keluargaku siang itu juga.
"Pa, aku bolehkan ikut mereka? Aku janji nggak akan lama. Please, pa." pintaku yang sudah tak berdaya.
Papa mengangguk dan memelukku. Menyalurkan ketenangannya padaku.
Aku masuk ke ruang IGD dibantu oleh kak Rey. Orang tua dan adik Ihsan sangat terpukul walaupun mereka sudah tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Papa Ihsan keluar menelepon saudaranya untuk mempersiapkan segala kebutuhan di rumah duka. Aku terus menangis. Mama Ihsan berusaha menenangkanku dan juga Dinda.
Aku dan keluarga Ihsan menuju lapangan udara yang tak jauh dari rumah sakit. Orang tua Ihsan menggunakan ambulans, sedangkan aku dan Dinda diantar kak Rey.
"Ra, gua temani ya? Gua khawatir sama lo." pinta kak Rey.
"Lo berangkat bareng temen-temen gua yang ketemu kita di Alaska waktu itu. Nanti gua telepon mereka." balasku.
Kak Rey hanya mengangguk setuju.
Aku meminta sahabat-sahabatku itu menunggu di rumahku. Denny yang mengetahui itu langsung menghubungi papanya untuk mendapatkan tiket siang itu juga, papanya memang salah satu pejabat yang disegani.
Ketika tiba disana, ambulans sudah siap. Sedangkan aku dan Dinda dijemput oleh sopir keluarga Ihsan. Di rumah duka, saudara, tetangga, teman sekolah, dan rekan-rekan bisnis keluarga Ihsan sudah berkumpul. Sepanjang jalan banyak karangan bunga yang mengucapkan belasungkawa. Aku menangis dalam diam. Ketika melihat bendera kuning yang ada di depan rumah duka, aku semakin tak percaya bahwa Ihsan sudah tak ada lagi di dunia ini.
Kami memasuki rumah yang sudah ramai itu dibantu oleh salah satu tante Ihsan. Aku mengenalnya karena waktu kami SD, kami sering diajak berbelanja oleh tantenya ini. Cukup banyak juga keluarga Ihsan yang mengenalku, begitupun sebaliknya.
Saat jenazah almarhum Ihsan dimandikan, aku dan Dinda menunggu di kamar Ihsan. Kamar yang didominasi warna abu-abu dan putih itu sangat cocok dengan Ihsan menurutku. Aku melihat koleksi foto-fotonya. Di kamar itu, ternyata banyak fotoku. Sekarang Dinda sudah lebih tenang dibanding aku.
"Kak Ihsan banyak cerita tentang kak Tyara." ucap Dinda yang memegang sebuah foto yang menampilkan wajahnya dan kakaknya itu.
Aku tetap diam.
"Dia juga mengoleksi foto kakak, walaupun kakak dan kak Ihsan berjauhan, kak Ihsan selalu memantau keadaan kakak. Saat dokter udah memvonisnya bahwa nggak ada lagi jalan pengobatan karena kanker itu udah menggerogoti 85% dari tubuhnya, kak Ihsan berniat untuk ketemu kakak." infonya lagi. Aku semakin menangis.
Kak Rey dan keempat sahabatku menelepeon mengabarkan kalau mereka sedang menuju rumah duka. Mereka datang diwaktu yang tepat karena ketika mereka datang jenazah Ihsan akan dibawa ke tempat pemakaman keluarganya. Gundukan tanah yang tertutup oleh bunga sudah terlihat. Kalau saja tangan kokoh kak Rey tak menopang tubuhku, aku yakin kini aku telah meluruh.
Ketika semua saudara Ihsan pulang, aku, Dinda, orang tua Ihsan, kak Rey, dan keempat sahabatku masih di pemakaman. Karena hari sudah malam, orang tua Ihsan memutuskan untuk pulang. Hari ini adalah hari yang sangat singkat untukku. Dimulai dari aku pulang sekolah lebih cepat, bertemu Ihsan, Ihsan drop, hingga Ihsan tiada lagi di dunia ini.
Aku diminta orang tua Ihsan untuk menginap di rumah mereka. Karena rumah itu sudah ramai oleh keluarga, kak Rey dan keempat sahabatku menginap di rumah keluarga kak Rey yang berada tidak jauh dari rumah keluarga Ihsan. Mereka di jemput oleh sopir keluarga kak Rey. Malam itu aku tak tidur.
Paginya kak Rey dan keempat sahabatku menjemputku di rumah Ihsan.
"Om, tante, kami pulang ya." ucapku mencoba tersenyum.
"Hati-hati di jalan ya. Kapan-kapan main kesini lagi." balas mama Ihsan yang masih terlihat berduka.
"Iya, tante." ucapku yang langsung memeluknya.
"Kak Tyara!" Panggil Dinda yang membawa sebuah kotak berwarna coklat yang berukuran cukup besar.
"Ada apa, Din?" tanyaku.
Dia hanya memberikan kotak itu padaku.
"Apa ini?"
"Disitu ada organizer kak Ihsan dan barang-barang yang berhubungan sama kakak."
"Orgy Ihsan?"
"Iya waktu aku baca depannya ternyata tentang kakak."
"Thanks, Din! Yaudah kami pergi ya om, tante, Dinda."
Kami pulang menggunakan mobil kak Rey. Aku duduk di sebelah kak Rey yang menyopir. Melisa dan Indah di tengah. Denny dan Ari di belakang. Ketika perjalanan menuju pelabuhan Merak, Melisa, Indah, Denny, Ari tertidur. Sebenarnya aku tak yakin mereka benar-benar teritidur.
Aku membuka kotak dari Dinda yang berisi organizer Ihsan, kalung berliontin inisial T, boneka keropi berukuran sedang, dan foto-foto kecil kami. Tanpa sadar aku menangis.
"Stop crying, Ra, please! I know, you're strong. Tyara yang gua kenal itu orang yang kuat."
Aku tetap diam dan membaca orgy Ihsan.
"Lo lupa kata-kata Ihsan? Jangan bersedih karenanya."
"Nggak semudah yang lo pikir."
***
Hallo, ditunggu feedback-nya! Semakin banyak vote dan comment, semakin cepat aku update.
Salam cinta, Chin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior High Love
Short StoryMungkin ini klise. Sangat klise. Perjodohan saat SMA, apa itu wajar? Demi mama dan papa aku menyetujui perjodohan itu. Tapi seorang dari masa laluku kembali, cinta pertamaku, sahabat pertamaku. - Tyara Ziany Ananta Bukan hal yang mudah bagiku untuk...