Setelah obrolan yang cukup sensitif itu, kami kembali diam. Mencoba menetralkan perasaan masing-masing. Aku pura-pura tertidur, sedangkan kak Alvin membaca majalah otomotif dan duduk di sofa. Sekitar setengah jam kemudian keheningan itu dipecahkan oleh kedatangan kak Rey dengan bungkusan makanan. Kami makan bertiga. Selama makan hanya kak Alvin dan kak Rey uang mengobrol, itupun tentang otomotif dan kadang sedikit tentang bisnis. Selesai makan kak Alvin duduk di dekatku.
"Rey, bisa kita bicara di luar?" Pinta kak Alvin.
Ketika kak Alvin berdiri, aku menahan tangannya. Kak Alvin menghadapku dan tersenyum. Senyuman yang mengisyaratkan 'nggak akan terjadi apapun'. Selama mereka mengobrol di luar aku hanya harap-harap cemas di dalam, berharap kak Alvin nggak bicara yang aneh-aneh.
Memangnya kalau cowok ngobrol lama ya? Batinku. Sudah setengah jam di luar mereka tak kunjung masuk. Aku sempat tertidur menunggu mereka. Aku terbangun ketika papa dan mana masuk. Papa memeriksa keadaanku. Kali ini wajah papa terlihat lebih rileks. Aku pun sengaja tidak mengungkit masalah tadi.
"Pa, ma, aku boleh pulang ya? Aku bosen disini." pintaku.
"Baiklah, tapi besok kamu belum boleh sekolah." balas papa.
"Yah pa, aku kan mau pulang karena besok mau sekolah." Oke, aku benar-benar daddy's little girl.
Papa dan mama tak kuasa menolak permintaanku.
"Oke, tapi kamu sampai rumah langsung istirahat!" perintah mama.
"Iya, mama cantik!" balasku.
Paginya kak Alvin membangunkanku. Akhirnya aku sudah kembali ke kamarku. Baru tiga hari di rumah sakit saja aku sudah kangen dengan kamarku. Aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Setelah sekian lama akhirnya aku kembali merasakan sarapan dengan keluarga yang lengkap. Suasana pagi itu membuat aku senang dan tenang.
"Hari ini kamu ada rencana apa, Vin?" tanya papa.
"Belum ada sih, pa, yang jelas Alvin mau nganter Tyara ke DB sekaligus main-main aja disana."
"Oke, kalau gitu jaga adikmu ya, Vin. Kalau bisa tunggui dia sampai pulang sekolah." Apakah itu perintah?
"Mama aku kan bukan anak SD lagi, jadi nggak perlu ditunggu sampai pulang juga." gerutuku.
Seakan tak mendengar ucapan ku, kak Alvin membalas, "Siap, ma, biar Alvin tunggu sampai pulang. Yaudah ma, pa, kami berangkat dulu ya!"
Kak Alvin hanya menggunakan pakaian casual, tapi tetap sopan karena dia ingin bertemu beberapa guru. Menggunakan pakaian apapun, kak Alvin tetap terlihat ganteng menurutku. Kami menggunakan mobil sport merah kak Alvin yang sudah hampir setahun tidak dia gunakan. Aku bertemu Putri dan teman-teman kelasku yang lain, tapi tidak ada Rani. Kak Alvin tetap berdiri di belakangku dengan wajah cool-nya. Beberapa cewek yang lewat melirik penasaran ke arah kak Alvin.
"Rani dimana?" tanyaku pada semua.
"Nggak tau, mungkin nggak masuk. Udah jam segini belum datang, padahal biasanya dia datang pagi." jawab salah satu sidekick Rani. Mungkin ini masih berhubungan dengan masalah dia dan papanya kemarin.
Aku hanya mengangguk-angguk. Temanku, Tara, langsung menarik tanganku untuk menjauh. Tara adalah teman SMP aku dan Putri. Kami memang nggak terlalu dekat ketika SMP makanya dia nggak mengenali kak Alvin sebagai kakakku.
"Raaa, cowok itu siapa lo?" tanya Tara heboh tapi tetap menjaga volume suaranya
"Maunya siapa gua, Tar? Memangnya kenapa sih?" Aku balik bertanya.
Terlintas dipikiranku untuk menjahili Tara. Aku yakin kak Alvin mau membantuku mengerjai mereka. Ketika aku SMP dan kak Alvin SMA, kak Alvin pernah mengerjai teman-temannya dengan mengatakan aku adalah pacarnya, tentu saja aku tidak pernah menggunakan seragam SMP-ku ketika bertemu teman-temannya. Diantara teman-teman sekolahku yang mengetahui kak Alvin adalah kakakku hanya Putri, dan tentu saja kak Rey.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senior High Love
Historia CortaMungkin ini klise. Sangat klise. Perjodohan saat SMA, apa itu wajar? Demi mama dan papa aku menyetujui perjodohan itu. Tapi seorang dari masa laluku kembali, cinta pertamaku, sahabat pertamaku. - Tyara Ziany Ananta Bukan hal yang mudah bagiku untuk...