Delapan

14.2K 679 1
                                        

Karena aku merasa kedinginan di ruanganku, aku terbangun. Aku terkejut melihat ruanganku yang sudah dipenuhi sekitar 10 orang. Kepalaku kembali sakit.

"Masih pusing, nak?" tanya mama yang menghampiriku.

Aku mengangguk dan masih memegangi kepalaku, "Kenapa disini ramai, ma?"

Mama mengusap kepalaku lembut. Aku cukup terganggu dengan perban yang ada di kepalaku sekarang. Mama hanya tersenyum dan menggeleng mengisyaratkan bahwa tidak ada apa-apa, lalu melihat ke arah papa.

"Kamu disini dulu ya ditemani Rey, mama dan papa ada urusan sebentar." ucap mama yang mencium keningku.

Ketika mama hendak berdiri, HP-nya berbunyi.

"....."

"Hallo ada apa, Vin?" tanya mama. Ah, itu pasti kak Alvin.

"....."

"Mama di rumah sakit, Vin. Adikmu kecelakaan." Aku sangat yakin kak Alvin akan marah mendengarnya. Kak Alvin sama seperti papa, overprotective kepadaku.

"....."

Belum sempat mama membalasnya, sepertinya sambungan diputus sepihak oleh kak Alvin. Dasar kakak nggak sopan, ya tapi begitulah kak Alvin kalau sedang panik. Aku yakin kak Alvin sedang marah disana karena nggak ada yang memberitahunya bahwa aku kecelakaan. Aku sangat hapal dengan kelakuan kakak tersayangku itu.

Setelah menerima telepon itu keadaan tetap hening, nggak ada seorangpun yang bicara. Papa tetap bertahan dengan raut wajahnya yang tegang, padahal papa selama ini jarang sekali yang namanya marah. Tak lama setelah menelepon, pintu ruangan terbuka dan menunjukkan sosok yang sudah sangat aku rindukan itu. Berbeda dengan raut wajah semua orang di ruangan ini yang tegang, raut wajah orang yang aku rindukan itu justru terlihat panik dan marah menjadi satu.

"Kak Alvin!" Seruku yang terkejut melihatnya dan mencoba duduk.

Kak Alvin langsung memelukku, menyalurkan rasa rindunya mungkin?

"Kenapa nggak ada yang ngasih tau Alvin kalau Tyara kecelakaan?!" Tanyanya yang masih memelukku, jelas sekali tersirat dari suaranya bahwa dia sedang marah.

"Jangan marah-marah, kak, lagipula aku nggak kenapa-napa. Kakak juga nggak ngasih tau aku kalau kakak udah disini." balasku yang mencoba menenangkannya.

"Tadinya mau ngasih surprise." Kali ini dengan berbisik.

"Tyara, kamu disini dulu ya sama kak Alvin. Rey, kamu ikut kami dulu." pinta mama.

Mereka semua kecuali kak Alvin keluar dari ruanganku, mereka pindah ke ruangan lain, mungkin ke ruang papaku yang berada di top floor gedung ini.

"Kak, I miss you so damn much! Kenapa pulangnya main rahasia-rahasiaan sih?" Tanyaku kesal.

"Miss you too, my lil' girl! Kan tadi udah bilang mau kasih surprise, nggak taunya malah kamu yang ngasih surprise. Kok bisa kecelakaan gini sih, dek?"

Aku hanya diam.

"Pasti karena mikirin Ihsan!" Tebaknya yang sangat benar. Yeah, he knows me so well.

"Maaf..." cicitku yang tak berani menatapnya. Tapi, kak Alvin membalasnya dengan mencium keningku.

"Kak tolong antarkan aku ke ruangan papa." aku mengalihkan pembicaraan.

"Sebenernya ada apa? Kok pake ada polisi tadi."

Aku hanya menggeleng, malas untuk cerita dan memang nggak tau mengenai polisi itu. Aku kembali teringat isi kotak pink itu. Ucapan di luar kotak hanya 'Get well soon, Tyara!'. Tapi ketika aku membukanya ada kucing mati yang sudah dimutilasi dan seekor ular. Untungnya ular itu terletak di bawah bangkai sehingga tidak langsung menerkamku dan sebelum itu terjadi aku sudah mendapatkan kesadaranku. Aku langsung membuang kotak itu sehingga darah kucing itu tercecer di lantai ruanganku.

Senior High LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang