Happy Reading 👋
***
Hari senin tanggal tiga November, dimana tujuh belas tahun yang lalu perjuangan seorang ibu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan malaikat kecilnya kedunia telah berhasil. Tangisan bayi perempuan itu berhasil Adira dengar, rasa sakit sudah terbayarkan. Seharusnya kebahagiaan itu ia rasakan bersama ayah dari putrinya namun, sosok yang Adira harapkan berada disampingnya tidak ada. Ntah dimana lelaki itu, mungkin sedang bersama wanita gelapnya. Segera mungkin Adira meraih ponsel yang berada diatas nakas, jari-jarinya menekan satu demi satu nomor seseorang untuk ia hubungi.
"Kenapa lagi!" Hal pertama yang masuk ditelinga Adira. Suara keras itu menjalar ke hatinya, sakit yang ia rasakan. Namun ini bukan saatnya mengurus rasa sakit hati, ada yang lebih penting baginya.
"Mas, anak kita udah lahir. Dia perempuan seperti apa yang kamu inginkan dulu, sekarang aku ada dirumah sakit. Kamu tolong kesini ya?"
"Anak kita? Masih berani kamu bilang dia anak kita? Ya, memang dulu aku sangat berharap memiliki anak perempuan. Tapi, anak perempuan yang berasal dari gen aku, bukan dari orang lain Adira!"
Adira mengigit bibir dalamnya menahan air mata agar tidak jatuh membasahi putri kecil yang berada dipangkuanya. "Mas, demi Tuhan ini anak kamu. Aku nggak pernah lakuin seperti apa yang kamu tuduh."
"Apa yang bisa kamu lakukan biar aku percaya Adira?"
"Tes DNA anak ini mas. Jika dia bukan anak kamu, mas boleh ceraiin aku sekarang juga tanpa beri aku sepeserpun biaya besarin dia. Tapi, jika dia terbukti anak kamu jangan pernah ceraiin aku mas kecuali aku yang minta."
Mendengar tawaran Adira dari seberang ponselnya itu, Fery tersenyum semirik ia merasa tertarik akan hal yang ditawarkan sang istri. Fery yakin bayi itu bukan anaknya. Kesalah pahaman Fery sudah membutakan akal pikiran.
"Oke. Pegang omonganmu Adira!"
"Aku akan memperjuangkan apa yang seharusnya aku dan anakku dapatkan dari kamu mas." Setelah Adira mengatakan itu panggilanya kini sudah terputus secara sepihak.
"Dokter, tolong DNA putri saya dengan ayahnya. Beberapa helai rambut sudah saya siapkan, ada didalam tas saya."
"Baik bu Adira, saya ijin mengambilnya dan segera melakukan DNA sesuai keinginan ibu." Jawab dokter muda itu sembari melangkah untuk melakukan perintah Adira.
Adira menatap lembut bayi cantik yang tengah tertidur pulas didalam gendonganya, apakah bayi yang tidak tahu apa-apa ini akan merasakan sakitnya penderitaan.
"Maafin Ibu sayang, mungkin kehidupanmu nanti akan sedikit rumit. Tapi Ibu akan bersama kamu memperjuangkan kebahagiaan kita."
Pintu berwarna putih itu terbuka, menampilkan seorang lelaki gagah dengan pakaian jas yang masih melekat ditubuhnya memasuki ruangan. Adira yang melihat itu pun merasa senang, apakah sang suami ingin menjenguk ia dan putrinya?
"Nggak usah kesenengan. Aku kesini mau liat hasil DNA."
Adira terjatuh dengan ekspektasi nya sendiri. Sakit, itu sudah sering ia rasakan sebaiknya untuk saat ini tak mau memikirkan perasaanya, sekarang bayi cantik ini lebih penting dari segalanya.
"Masih diperiksa dokter. Lihat mas, matanya bagus mirip sama kamu kan?"
"Stop ngomong kayak gitu, risih rasanya. Dia anak kamu sama lelaki yang ada di Bar waktu itu."
"Harus berapa kali aku jelasin? Aku dateng ke Bar juga buat bawa kamu pulang mas, harusnya aku yang marah liat kamu main gila sama banyak wanita murahan itu! Andai kamu langsung mau pulang sama aku, nggak mungkin lelaki bejat itu sentuh aku mas!" Nada tinggi bersama tangisan itu menghiasi Adira, saat ia harus kembali mengingat kisah kelamnya dimasalalu.
Tangan Fery terulur mencengkeram pipi Adira. "Halah emang dasarnya lo murahan! Gak usah bikin opini seolah lo tersakiti."
Kini hanya tersisa isakan tangis Adira, percuma berkali kali melayangkan penjelasan, dirinya akan tetap salah dimata sang suami. Suara ketukan pintu terdengar, Adira segera mengusap kasar air matanya tidak mau seseorang mengetahui betapa hancurnya ia saat ini.
"Bu Adira, ini hasil DNA putri ibu."
Uluran surat itu langsung dirampas cepat oleh Fery. Betapa terkejutnya ternyata hasil DNA bayi itu cocok denganya, yang berarti dia anak kandung Fery. Sudut bibir Adira terangkat, semoga dengan hasil itu Fery bisa merubah pikiran sempitnya.
"Bener kan mas? Kamu harus tepatin persetujuan tadi."
Fery menatap tajam Adira, ia masih belum bisa menerimanya. Kejadian salah paham itu masih menghantui pikiran Fery.
...
Fisly sudah siap akan menjalankan kewajibanya sebagai pelajar, tubuh ramping itu kini berbalut seragam putih abu abu yang dipadukan dengan cardigan hitam untuk menutupi bekas luka ditanganya. Fisly harap mereka tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.
Langkah Fisly menuruni anak tangga terhenti saat melihat sang ayah yang tengah melaksanakan sarapan pagi. Detak jantungnya kembali berpacu kencang membuat rasa gelisah kembali menyerang Fisly. Segera mungkin Fisly menarik napas dalam-dalam dan menenangkan pikiranya, tidak mau pagi hari ini menjadi kacau karena kejadian itu, harus terbiasa merasakan seperti ini. Setelah pikiranya mereda, Fisly kembali melangkah menghampiri Adira untuk berpamitan.
"Ibu, Fisly berangkat ya?"
"Mau sekolah? Emang udah sembuh sayang?" Mata sayu bibir pucat Fisly membuat Adira khawatir jika putrinya belum benar-benar sembuh.
"Biarkan dia sekolah Adira, jangan biarkan dia menjadi wanita bodoh seperti mu!"
Ucapan pedas dari mulut Fery membuat Adira tersenyum masam, benar dirinya memang bodoh. Bodoh memilih suami. Fisly menatap sang Ibu, sakit rasanya melihat senyuman masam yang terukir dibibir ibunya. Apa sekarang Fisly boleh benci ayah bu?
"Yaudah, hati-hati ya. Jangan kebut-kebutan."
"Iya Ibu." Setelah menyalami Adira, Fisly melangkah pergi melewati Fery begitu saja tanpa berpamitan bahkan tersenyum saja tidak.
"Lihat Adira, anakmu nggak punya sopan santun sama sepertimu."
Adira tak menanggapi ucapan Fery, ia memilih pergi. Sakit jika terus mendengarkan cacian dari suaminya sendiri. Ibu maafin Adira, andai dulu Adira turutin perkataan Ibu. Mungkin sekarang Adira merasakan kebahagiaan bu. Adira kangen Ibu, semoga Ibu bahagia diatas sana ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What about me?
Ficțiune adolescențiFisly yang hidup bersama dengan rasa sakit yang pernah ayahnya berikan.