Happy Reading 👋
***
Senyum Fery yang jarang ditampakkan kini terukir jelas saat berkutik dengan ponselnya, dering notif selalu terdengar mengisi keheningan diruang keluarga. Sangking asiknya, Fery tidak tersadar akan kehadiran Adira disampingnya.
"Asik banget mas." Ucapan itu berhasil mengejutkan Fery, segera ia mematikan ponselnya dan memasukan kedalam saku.
"Apasih. Aku mau berangkat kerja dulu."
"Bukanya hari ini kamu libur mas? Kata sekretaris kamu hari ini perusahaan ada cuti bersama."
"Nggak usah sok tau kamu."
Adira menundukan kepala kenapa disaat bersamanya Fery terkesan jutek dan gampang emosi, berbeda saat bersama orang lain bahkan bersama ponsel saja Fery tampak bahagia. Pikiran buruk mengenai suaminya terbesit dipikiran Adira, apa benar Fery ingin pergi berkerja? Atau ingin berkencan dengan wanita lain?
"Kamu beneran mau kerja mas? Apa kamu ada janji sama wanita lain?" Dengan hati-hati Adira memberanikan diri bertanya seperti itu kepada suaminya.
"Apa kamu bilang? Mulut sialan!" Wajah Adira kesamping usai tamparan keras yang dilayangkan Fery.
"Aku cuma tanya mas.."
Usai mendengar ucapan Adira, amarah Fery semakin memuncak. Tangan kekar itu terulur mencengkram dagu sang Istri.
"Pertanyaan bodoh! Gue kerja juga buat lo! Kalo bukan karna gue hidup lo nggak akan seenak gini! Kerjaan lo cuma dirumah urusin anak lo!" Bentakan itu Fery lontarkan sembari melemparkan sebuah gelas disisih Adira.
"Perlu mas tau, Fisly juga anak kamu mas!" Adira tersulut emosi, ia berucap dengan nada yang tak kalah tinggi membuat Fery tersenyum semirik sembari melangkah mendekati Adira.
"Udah berani ngelawan? Baguss."
Tangan Fery terangkat menjambak ramput panjang Adira, ia mendorong dan menghantamkanya ke tembok. Adira memegangi kepalanya, rasa pening mulai menjalar penglihatanya mulai kabur. Fery beralih mengambil tongkat baseball disebelah nakas, ia melayangkan beberapa pukulan ke tubuh Adira. Puas memukuli Istrinya sendiri, Fery mengambil pecahan gelas yang berserakan dilantai ia berniat mengoreskan ke tubuh Adira. Melihat Fery yang mengenggam pecahan gelas itu Adira segera bangkit, ia berlari keluar untuk menghindari perbuatan gila suaminya.
"Jangan lari Adira! Lo harus dapet pelajaran!"
Dengan keadaan yang mengenaskan, tubuh penuh lebam dan sudut bibir yang terus mengeluarkan darah Adira terus berlari tak menghiraukan ucapan Fery. Sesampainya, sebuah mobil box melaju begitu kencang menghantam Adira. Tubuhnya terpental beberapa meter dari lokasi kejadian, kepala Adira terbentur pembatas jalan. Rasa sakit di iringi darah yang terus mengalir dari hidung dan kepalanya. Suara riuh orang-orang masih terdengar ditelinga Adira, sesampainya rasa sakit dikepalanya semakin menjadi, suara-suara itu sudah tidak terdengar kini kesadaran Adira telah menghilang. Entah bagaimana nasibnya nanti, semoga Tuhan masih memberikan kesempatan untuk Adira bertahan demi putrinya.
°°°
"Paham nggak?" Fisly bertanya, memastikan apa yang sudah ia jelaskan bisa dipahami Darren.
"Enggak."
"Astaga Darren, makanya kalau lagi dijelasin tuh dengerin bukan malah senyum-senyum ga jelas!"
"Iyaa sayang, jelasin lagi dong gue serius kali ini."
Fisly mengerutkan kedua alisnya merasa geli mendengar ucapan Darren. "Dih, nggak jelas lo."
"Iya emang nggak jelas, yang jelas kan gue sama lo."
"Gue gebuk ni." Tangan Fisly terangkat bersiap memukul lelaki tengil disebelahnya.
Darren tertawa melihat ekspresi kesal Fisly, ia tau sebenarnya gadis itu tengah bersusah payah menahan salting. "Busett galak bener."
Dering ponsel milik Fisly memecahkan candaan mereka, nomor tidak dikenal yang menghubunginya. Sempat ragu akan mengangkat telepon itu, namun Fisly tetap mengangkatnya. Rasah aneh mulai menyelimuti pikiran Fisly.
"Selamat siang, dengan Mbak Fisly?" Ucap seorang wanita disebrang ponsel itu.
"Iya benar. Ada apa?"
"Mbak Fisly, Ibu anda mengalami kecelakaan di Jalan Cempaka. Sekarang sedang kami bawa menuju rumah sakit merah putih."
Seperti tersambar petir, kabar itu masuk ke telinga Fisly. Rasa khawatir sedih dan binggung bergulat dipikiranya. Kenapa bisa ibunya seperti ini? Ia harus apa? Menangis? Bukan ini bukan saatnya menangis, ia harus segera bangkit menyusul Ibunya.
Darren yang melihat Fisly terdiam setelah menerima telepon pun binggung, kenapa? Apa terjadi sesuatu pada gadis itu. "Fis, kenapa kok ngalamun gitu?"
"Darren, Ibu kecelakaan. Sekarang lagi diperjalanan menuju rumah sakit." Jelas Fisly dengan nada lemah, tanpa sadar air mata mulai meluruh jatuh menetesi pipi putihnya.
"Hah! Ayo kita pergi sekarang." Ajak Darren sembari menarik tangan Fisly.
Mereka segera melangkah keluar dari gedung sekolah, beruntung ini sudah memasuki jam pembelajaran jadi sekolah tampak sepi dan tak ada satpam yang menjaga gerbang.
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sudah sampai didepan gedung rumah sakit yang diberi taukan seseorang lewat telepon tadi. Mereka segera berlari menuju meja resepsionis untuk mempertanyakan ruang Ibunya."Sus dimana ruang korban kecelakaan di Jalan Cempaka barusan?"
"Oh korban dibawa ke ruang UGD mas, dari sini lurus aja terus nanti belok kiri."
"Baik sus makasih."
Darren dan Fisly segera menuju ke ruang UGD. Isakan Fisly terdengar saat mereka tengah berjalan, gadis itu sangat mengkhawatirkan Ibunya.
"Fisly tenang, Ibu lo bakal baik-baik aja."
"Gimana gue bisa tenang Der! Sedangkan itu Ibu gue!" Nada bicara Fisly menaik, sungguh pikirannya sangat kacau.
Pintu ruang UGD itu masih tertutup rapat, Apa begitu parah lukanya? Fisly semakin kacau, badanya meluruh duduk diatas dinginya lantai dengan airmata yang sulit untuk dibendung. Darren hanya bisa menghembuskan napasnya ingin sekali ia memeluk gadis malang itu, namun saat-saat seperti ini Fisly hanya menginginkan Ibunya. Jikapun Darren mendekat pasti respon Fisly akan berbeda, pikiran kacau bisa membuat gadis itu emosi.
Setelah berjam jam menunggu, akhirnya pintu ruangan terbuka menapilkan seorang dokter dengan beberapa suster dibelakangnya.
"Keluarga Ibu Adira?" Tanya seorang lelaki yang bergelar dokter itu.
"Iya saya dok, gimana keadaan Ibu saya?"
"Mari masuk, saya jelaskan didalam."
Fisly dan Darren melangkah masuk mengikuti perintah sang dokter. Tubuh Fisly tercengang kaku melihat keadaan Ibunya, kepala yang diperban dengan darah yang terus menembus lapisan-lapisan perban dan beberapa luka lebam disekitar wajah dan tubuh sang Ibu. Siapa yang melakukan? Kenapa orang itu jahat kepada Ibunya?
"Ada lebam ditubuh bu Adira sepertinya disebabkan karena pukulan, itu tidak masalah saya sudah mengobatinya. Tapi, Bu Adira mengalami dua kali benturan keras dikepala bagian belakang, benturan itu bisa saja terjadi pada saat kecelakaan. Untuk saat ini Bu Adira tengah mengalami masa kritis, perbanyak berdoa agar Ibu kamu cepat sadar."
Tubuh Fisly melemas usai mendengar penjelasan sang dokter, apakah Ibunya itu mendapatkan siksaan dari sang Ayah sebelum kecelakaan terjadi? Jika itu benar, mungkin Fisly akan benar-benar membenci Ayahnya.
Ibu, bertahan buat Fisly bu. Fisly takut jika harus sendiri didunia yang jahat ini bu.

KAMU SEDANG MEMBACA
What about me?
TienerfictieFisly yang hidup bersama dengan rasa sakit yang pernah ayahnya berikan.