Perjalanan pulang keluarga Suh ditemani oleh suara tangisan Hendery yang tidak kunjung berhenti. Johnny merasa kepalanya pening saat si bungsu ikut menangis karena terusik oleh tangisan sang kakak. Dengan matanya yang basah, Hendery membuka pintu mobil dan berlari menuju pintu rumah yang masih terkunci. Bocah itu memukul-mukul pintu kemudian badannya meluruh ke lantai, sedangkan kedua orang tuanya hanya bisa memandang anak mereka yang sangat dramatis."Buka pintunya," ucap Hendery dengan tubuh terbaring di teras rumah. Johnny memutar kunci pintu dan menyuruh bocah itu bangun. Mendengar suara pintu terbuka, Hendery berlari masuk dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dan kembali menangis. Ia masih teringat bagaimana jarum suntik menusuk lengan adiknya dan membuatnya menangis kencang.
Johnny berdecak dan menggeleng pelan melihat tingkah anak sulungnya. Ayah dua anak itu menghampiri Hendery dan mengangkat badan anak itu yang terbaring telungkup. Wajah yang merah dan basah oleh air mata menjadi yang pertama kali Johnny liat ketika mendudukan tubuh Hendery pada sofa.
"Udah dong bang nangisnya, adeknya juga udah gak nangis," ucap Johnny sambil mengusap air mata anak sulungnya. Hendery terisak, mengusap hidungnya yang basah dengan lengan baju sang ayah dan menatap adiknya yang ada di pangkuan Tania.
"Dedek, abang dimarahin daddy. Padahal dokternya yang jahat, bikin Dek Ra nangis. Dunia ini gak adil," adu Hendery sambil meletakkan kepalanya di paha adiknya. Seakan mengerti apa yang dibicarakan sang kakak, Haera menepuk-nepuk kepala Hendery sembari berceloteh tidak jelas. Tania tersenyum melihat interaksi kedua anaknya tersebut, Ia pun ikut mengusap rambut anak lelakinya.
"Abang, dokternya gak jahat. Dokternya ngasih vitamin biar dedeknya sehat," jelas wanita itu dengan harapan anaknya dapat mengerti bahwa apa yang Ia pikirkan tidak benar. Hendery mengangkat kepalanya dan menarik ingusnya sebelum menjawab, "Bohong. Kalo biar dedek sehat kenapa dedek malah nangis?"
"Harusnya kalo sehat kan ketawa, bukan nangis," ucap bocah itu dan tanpa sadar air mata kembali mengalir dari matanya. Hal itu tidak luput dari pandangan Haera. Bibir bayi itu perlahan melengkung ke bawah, ikut merasakan kesedihan sang kakak dan kemudian tangisannya pecah. Beberapa menit ke depan, Johnny dan Tania harus puas mendengar tangisan yang bersahut-sahutan dari kedua anak mereka.
_____
Seorang pria dewasa melangkahkan kakinya menuju sebuah kamar dengan stiker dinosaurus di pintunya. Ia mengetuk pintu di depannya namun tidak ada balasan setelahnya. Akhirnya Johnny membuka pintu kamar yang selalu Johnny larang untuk dikunci. Memasukkan kepalanya melalui celah pintu, Ia melihat anak sulungnya bergelung di dalam selimut. Johnny menghela napas kemudian memasuki kamar.
"Abang. Abang marah sama daddy?" tanya ayah dua anak itu sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Hendery. Johnny berusaha menahan tawanya saat melhat wajah marah anaknya yang malah terlihat lucu di matanya. Hendery tidak menjawab pertanyaan sang ayah dan berusaha menyingkirkan tangan Johnny yang hendak mengelap keringat di dahinya.
"Daddy jahat. Daddy marahin abang, padahal abang mau nyelamatin dedek dari dokter jahat," jelas Hendery dengan bibir yang mengerucut. Dengan tubuh yang masih menempel pada kasur, Ia memainkan jari-jarinya. Johnny menggelengkan kepalanya kemudian naik ke atas tempat tidur anaknya, ikut berbaring di samping Hendery. Bocah itu dengan kesal berusaha mendorong ayahnya dengan tangan dan juga kakinya.
"Kan tadi mommy udah bilang, bu dokter nyutik adek biar adeknya ga sakit," sekali lagi Johhny berusaha membuat anak sulungnya itu mengerti. Dengan tangan besarnya, pria itu menahan gerakan tangan sang anak yang sedari tadi memukuli tubuhnya.
"Padahal waktu kecil, abang juga nangis pas disuntik dokter," goda Johnny dan sukses membuat Hendery terdiam menatap ayahnya. Namun hal itu tidak bertahan lama, bocah lima tahun itu kembali menggeliat bagai ulat sambil berteriak bahwa ayahnya berbohong padanya. Bukannya marah, Johnny malah tertawa.
"Tuh kan daddy ketawa. Berarti daddy bohong," teriak Hendery sembari bangun dari posisi tidurnya dan beralih menduduki perut sang ayah. Tak lupa tangan kecilnya memukul pelan wajah tampan sang ayah.
"Daddy gak bohong. Daddy punya video rekamannya kok," ucap pria itu sambil merogoh saku celananya, mengambil ponsel pintarnya. Melihat hal itu Hendery kembali berbaring di samping ayahnya, menempelkan pipinya pada bahu lebar Johnny.
Pandangan kedua ayah dan anak itu terpaku pada layar ponsel. Kemudian terdengar suara yang berasal dari video rekaman. Selama video tersebut terputar, Hendery mengerutkan alisnya saat melihat seorang bayi laki-laki yang menangis saat jarum suntik menembus kulitnya, persis seperti hal yang dialami Haera.
"Siapa itu? Jelek sekali."
Johhny memandang anaknya tidak percaya. Hendery tidak mengetahui siapa bayi yang ada di dalam video, padahal sejak awal Johnny sudah memberitahu bahwa itu adalah video rekaman Hendery saat masih bayi, "Ini abang waktu masih bayi. Kan tadi daddy udah bilang."
Hendery terdiam kemudian merampas handphone dari tangan sang ayah. Ia menatap lekat-lekat bayi yang terpampang di layar handphone, kemudian bocah itu menyunggingkan senyumam," Oh, aku ganteng juga ya."
Johnny tertawa keras. Beberapa detik yang lalu Hendery menyebut bayi di dalam video berparas jelek, namun bocah itu langsung berubah pikiran setelah Ia mengetahui bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Johnny beranjak dari kamar Hendery, meninggalkan bocah yang masih asyik menatap video dirinya sendiri. Pria dewasa itu kembali ke kamarnya dan mendapati istri dan juga anak bungsunya, dia tidak sabar menceritakan kejadian lucu tadi.
"Ya abang sama kaya kamu. Narsis," ucap Tania setelah mendengar cerita dari Johnny. Pria itu menggerutu setelah mendengar respon sang istri. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
New chapter, new cover, hehe.
15/01/2024
YOU ARE READING
Suh Daily Life [GS]
FanfictionHanya berisi keseharian Daddy Johnny dan Mommy Tania dengan kedua anak mereka. Warn! Slow update⚠️ [genderswitch area] This is just a fiction, don't take it too much.