28

606 58 2
                                    

"AWAS DEPAN! INJEK REM MARIA! ITU YANG DI TENGAH KAKI KAMU! REEEEEM!!"

Mobil berhasil berhenti dengan suara keras dari decitan ban yang beradu dengan aspal. Bian masih memegang hand grip dengan kedua tangannya yang tremor. Untungnya ia belum berada di dunia yang berbeda. "Jangan bohong, kamu beneran udah bisa nyetir?"

"Bisa kok, selama kamu dua bulan di Kuala Lumpur, aku belajar nyetir di sini."

"Kamu sebut yang barusan itu bisa nyetir? Nyawa kita hampir melayang Maria!"

"Ya namanya juga belajar. Gak ada orang yang baru belajar udah langsung jago."

"Maria...." Bian memegangi bagian belakang lehernya yang terasa kaku karena shock. "Kalau baru belajar gak usah sok-sokan ngebut. Turun, Biar aku aja yang nyetir."

Maria dengan pasrah turun untuk bertukar posisi dengan Bian. Padahal Maria yang bilang karena sudah bisa menyetir ia ingin mengantar Bian ke kantor pagi ini, tapi menurut Bian Maria malah akan mengantarnya sampai ke surga jika masih meneruskan menyetir. "Gak ada ya, kamu bawa pulang sendiri ini mobil dari kantor nanti. Liat cara kamu nyetir, aku masih belum bisa percaya sama kamu. Telfon supir suruh ke kantor jemput kamu."

Maria tidak mengelak, ia memang baru saja menunjukkan ketidakhandalannya di depan Bian secara cuma-cuma. Padahal ketika belajar kemarin, kayaknya dia sudah lancar berkendara di jalan raya.

Bian sudah masuk ke dalam gedung dengan terburu-buru karena ada meeting pagi untuk membicarakan akuisisi Grup Literasi Maju atas salah satu perusahaan kertas terbesar di Indonesia, dan Maria memilih untuk menunggu supir di dalam mobil. Tapi kemudian ia berubah pikiran dan memutuskan untuk pergi menemui Sabrina, mumpung ia sedang berada di kantor hari ini.

Maria melambaikan tangan dengan sumringah ketika melihat Sabrina datang dari kejauhan. Sabrina yang baru datang langsung berbisik di telinga Maria, "seriusan nih? Ibu CEO kita ke kantor pake sweater, skinny jeans, terus gendong tas Kipling? Mana tas Hermes lo? Bukannya Ibu CEO minimal pakai brand-brand baju dan perhiasan punya nya Bernard Arnault ya?"

Maria berdecak, "bangke lo, Kak!" Lalu ia menggandeng Sabrina mengikutinya untuk ngopi di coffeeshop dekat kantor sambil menunggu supir datang.

"Jadi, gimana Mar rasanya bangun-bangun, udah jadi konglomerat?"

Maria menghela napas sebelum menjawab, "Intinya gak selamanya jadi orang kaya itu enak."

"Sayangnya i can't relate," balas Sabrina, lalu ia mencondongkan wajahnya ke depan dengan raut penasaran, "terus, setelah nikah lo udah tau apa aja red flagnya laki lo belum?"

"Kayaknya sih belum ya. Tapi Red flag-red flag yang kayak gimana sih contohnya?"

"Banyak. Menurut pengalaman gue, pasti ada aja red flag laki-laki yang baru keliatan setelah nikah. Entah ternyata dia gak mau ikut bantuin beres-beres rumah—eh tapi ngapain juga Bian bantu beres-beres rumah ya? kalian kan pasti punya ART."

Maria menggeleng, "Bian sering cuci piring malem-malem kalo ART udah pulang, walau cuma piring dia sama piring gue sih."

"Hah? Gile! Sekelas CEO lo suruh nyuciin piring lo?"

"Gue gak pernah nyuruh, dia yang mau sendiri."

"Oke-oke, soal itu kita skip. Red flag yang lain ada gak? Misalnya dia ternyata suka karaokean. Maksud gue, lo tau kan? Karaokean yang ada LC nya, terus itu LC duduk dipangkuan—"

"Lo gak lagi ngomongin suami lo kan kak?"

"Kagak lah! Enak aja!" Sabrina menyesap latte yang Maria traktir pagi ini. "soal begituan berarti clear juga ya. Apa lagi ya? hmm... mungkin dia diem-diem masih kontakan sama mantannya?"

Dunia ini Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang