Eps 5: Sinar Tak Lagi Terang

17 2 0
                                    





"Suatu saat nanti, kamu akan tahu tentang betapa berharganya sebuah perjuangan, jika aku pergi sebentar saja, apakah kamu akan mencariku?"


















"Lho walah le, bentar-bentar neduh disini aja dulu." Emak mempersilahkan Agung untuk berteduh di teras rumah. Rianti segera mengganti bajunya dan membawakan handuk untuk Agung yang sedang duduk di teras, hujan tak sederas tadi, bagaimanapun Agung tetap menunggu hingga hujan reda.

"Kamu kerja di tempat Rianti juga ya le, bajunya kok gak asing, banyak juga anak yang pake baju kaya kamu lho."

"Enggeh buk, saya temen kerjanya Rianti, saya sudah lama kerja di keraton, sekitar 2 tahun yang lalu."

"Lama juga ya, jaga Rianti disana ya le, anak e gak rewel kok hahaha." Emak tertawa ringan.

"Emak bicara apa sih? Ini mas teh anget e." Rianti membawakan secangkir teh hangat buatanya.

Sementara Agung meminum teh hangatnya perlahan, mereka berbicang santai tentang hal apapun yang ada di benak masing masing, perlahan juga emak dan Agung mulai akrab satu sama lain layaknya seorang ibu dan anaknya.

Semakin lama Agung sering mengantar Rianti kembali pulang, hingga berhari hari. Namun, Rianti mulai mengingat sebuah hal. Kala itu Rianti tengah beristirahat di pendopo, terlihat dari luar gerbang gerombolan tukang becak sedang mengantar penumpangnya.

Rianti teringat akan satu hal.


"Tukang becak? Apa yang aku ingat tentang itu? Lindhu?" Rianti terkejut mengingat akhir akhir ini Lindhu tak nampak di matanya, mengingat dulu Rianti sempat ingin membicarakan sebuah hal dengannya, entah apa itu.

Rianti berjalan menuju gerbang, terlihat tukang becak sedang mangkal di tempat dimana Lindhu biasanya menunggu Rianti. Rianti berjalan menghampiri.



"Mas Lindhu?" Rianti melihat wajahnya, namun bukan Lindhu yang dia lihat.

"Enggeh mbak? Nyari Lindhu ya? Gatau saya mbak, udah lama juga dia gak mangkal di tempat biasae, mungkin narik pelanggan di tempat lain mbak." tukang becak itu juga menanyakan kebingungannya saat ini, Rianti juga heran, mengapa Lindhu mangkal di tempat lain.
Bukankah dia pernah bilang kalau tempat mangkalnya selalu disini.

"Gitu ya pak, terima kasih ya." Rianti berjalan pergi menjauhi tukang becak itu, dengan segala kebingungan dan kekhawatirannya pada Lindhu, Rianti berharap nanti Lindhu datang.

Dalam lamunannya, ia selalu teringat wajah Lindhu , senyuman manisnya menyambut dikala pagi hari, candaan tawanya, segalanya.

Rianti heran, mengapa Lindhu seolah olah menjauhi Rianti, tak tahu apa penyebabnya.

"Rianti! Kok bengong sih, ayo kerja! Bentar lagi sudah jam pulang, kita harus bergegas!"


Rianti terkejut dengan bentakan di belakangnya, rupanya mbak Ratna dengan wajah kesalnya langsung bergegas pergi tanpa berucap lagi.

Aneh.

"Mbak Ratna kenapa ya akhir akhir ini sering marah-marah padaku, apakah mungkin karena sikap kerjaku yang bermalas-malasan mungkin, ah sudahlah, mungkin dia kecapean."

Rianti segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali untuk mengemasi barang-barangnya, ia menutup pintu lokernya dan keluar dari ruangan, namun tiba tiba.

"Aduh!" Rianti jatuh terpeleset, hampir saja kepalanya menyentuh lantai marmer yang dingin.

Rianti kebingungan, sedari tadi tempat ini sudah disapu bahkan dipel olehnya, namun, dia terjatuh karena tumpahan minyak di sekelilingnya.

"Apa ini? Minyak? Bagaimana bisa ini ada disini?"



Rianti beranjak dan kebetulan, Agung tengah berjalan menuju gerbang.

"Loh, kenapa mbak, jatuh kah? Aduh kok bisa mbak, gapapa kan mbak?" Agung menanyakan kekhawatirannya, ia merangkul Rianti berjalan perlahan menuju gerbang dengan membawakan tas milik Rianti.

"Lain kali hati-hati ya mbak, sakit loh nanti ya, jangan gopoh-gopoh jalannya."

"Iyaa mas saya engga papa ko, lain kali saya hati-hati."

Dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan mereka berdua, "Sial! Bagaimana bisa Agung malah membantunya."

Rianti berjalan dengan di rangkulnya Agung, "Apakah ada mas Lindhu disana? Apakah dia sedang menungguku sekarang?" Hal itu yang terus terpikirkan olehnya, entahlah, perasaan rindunya begitu kuat, sedangkan dia dan Lindhu tidak memiliki hubungan apapun.

"Mbak bareng saya aja ya, daripada nunggu becak disini, sakit mbak kalo berdiri terus, mari, saya bonceng." Agung menawari Rianti tumpangan untuk pulang, Rianti tidak dapat menolaknya lagipula, punggungnya masih terasa sakit.

Rianti naik ke atas boncengan perlahan, memegangi pundak Agung berpegangan erat, Agung mulai mengayuh sepedanya. Namun Rianti masih melamun dengan perasaan cemasnya yang selalu berputar- putar di kepalanya.

"Mas Lindhu, kembalilah."






Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang