Eps 4: Gemuruh Hujan

17 2 0
                                    







"Entah sampai kapan aku akan memendam rasa ini, mau bagaimanapun aku tak ingin kamu dimiliki orang lain. Ingat, duniaku hanya kamu, segalanya ada di dirimu."


-Lindhuaji














"Lelah sekali hari ini, haduh, hanya membuang sampah saja dan selesai! Aku harus bergegas daripada kemaleman." Rianti bergumam dengan membawa sapu mondar mandir. Dia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan di luar sana Lindhu masih menunggu Rianti keluar dari gerbang. Dengan berpangku tangan, Lindhu masih sabar menunggu.


"Kenapa dia lama sekali, ah aku sudah tidak sabar memberikan ini kepadanya, ya Tuhan, berikanlah jalan padaku kali ini saja kalau keyakinanku ini sudah benar." Lindhu menggenggam setangkai bunga dan menaruhnya di kantong saku bajunya. Dia tidak sabar menunggu wajah cantik Rianti berada di hadapannya


"Le.. becak le, ke arah Utara ya, nanti turun di depan masjid sana." suara ibu ibu paruh baya dengan membawa dua kantong plastik penuh dengan kebutuhan makanan di tangan kanan dan kirinya, sepertinya dia sedang tergesa gesa.


Akhirnya mau tidak mau, Lindhu harus mengantarkan ibu ibu itu terlebih dahulu sebelum kembali mangkal di depan keraton. Di dalam keraton, Rianti yang sedang mengemasi barang barangnya bergegas berjalan keluar dari keraton, menoleh kesana kemari mencari keberadaan Lindhu, akhirnya Rianti memutuskan untuk menunggu di kursi luar.


"Loh mbak, masih disini? Kenapa gak pulang mbak?"


"Eh mas Agung, belom mas, ini saya masih nunggu becak mangkal disini, saya pulang naik becak aja mas lumayan deket rumah saya dari sini."


Mendengar itu, Agung memanfaatkannya untuk mendapatkan perhatian dari Rianti, tanpa pikir panjang, Agung menaiki sepedanya dan mengajak Rianti pulang bersama.


"Bareng saya aja yuk mbak, ini mendung loh, daripada mbak kehujanan disini, kita cepet cepet pulang aja."



"Duh, iya juga sih mas, yaudah mas saya bareng aja, maaf loh mas ngerepotin." Rianti tersipu menunduk dengan wajah malunya.


Agung memberikan senyuman manisnya, dia menaiki sepeda tua miliknya dan memberikan isyarat mengajak Rianti baik ke bonceng di belakanganya, Agung merapikan posisi blangkon yang dipakainya dan mengayuh sepedanya perlahan.

Langit dari kejauhan terlihat abu abu pekat menandakan hujan segera tiba, awan mendung menyelimuti jalanan kala itu, Rianti dengan perasaan was wasnya meminta Agung segera mengayuh sepedanya dengan cepat.

Tampak dari kejauhan terlihat becak yang tidak asing.


"Aku harus cepat menjemput Rianti! Dia pasti menunggu tumpangan di sana!" Lindhu dengan segala tenaganya mengayuh becaknya dengan cepat, sebuah buket bunga di kursi penumpang terombang ambing.

Hujan turun dengan deras, Lindhu masih dengan tekadnya menerjang deras hujan kala itu, tubuhnya basah dengan tubuh yang kedinginan.

Dari kejauhan Lindhu melihat dari arah berlawanan seseorang juga mengayuh sepeda dengan cepat, mulai mendekat hingga sosok manusia terlihat, laki laki dan perempuan.

Terdengar pula suara tertawa panik hingga suasana hujan kala itu semakin ramai seiring air berjatuhan ke tanah, Lindhu menyadari satu hal. Perempuan itu Rianti dengan seseorang yang dia tidak kenal.

Semakin mendekat, hingga mereka bersimpangan satu sama lain, Lindhu memperhatikan wajah Rianti basah kuyup dengan tertawa menikmati derasnya hujan dengan menepuk pundak lelaki di depannya.

Lindhu tak menyangka apa yang dia lihat, kakinya mulai bergerak pelan mengayuh becaknya, membuatnya semakin lambat dan berhenti.

Rianti mulai jauh dari pandangannya.

Dengan amarah dan kekesalan
memenuhi kepalanya, Lindhu turun dari becak dan membuang buket bunga yang sengaja dia jaga sedari tadi untuk diberikan kepada Rianti.

Petir mulai bersautan, air mata Lindhu tersamarkan dengan air hujan yang membasahi wajahnya.


Sakit, perasaan sakit hatinya memenuhi seluruh lubuk hatinya.

Lindhu menendang becak tuanya menganggap kendaraannya itu terlalu lamban untuk menjemput gadis impiannya.

Hujan semakin deras, langit berubah menjadi gelap bagai malam hari. Lindhu menaiki becaknya dan memutar balik arah jalannya, Lindhu mengayuh sepedanya dengan cepat, melindas buket bunga yang telah basah dan meninggalkannya.

Tak peduli akan se hancur apa buket bunga itu dan juga perasaannya.


Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang