Eps 14: Akhir?

12 2 0
                                    

“Apa yang membuatmu sedih? Aku baik-baik saja, aku masih sanggup memandangmu, aku masih sanggup berbicara denganmu. Jangan sedih, ya? Jika saja dunia kita masih sama.”










Mereka berdua menoleh ke arah Ratna, Agung yang baru saja menengguk teh hangat itupun  kebingungan dan menaruh segelas teh hangat di sampingnya. Ratna masih berdiri melamun melihati mereka berdua dengan perasaan yang aneh.

“Kenapa mas, mbak Ratna itu?”

“Entahlah, hei Rat-“

Panggilan Agung terpotong, ia merasa teramat sakit di tenggorokannya, ia mulai terbatuk-batuk sembari memegangi dadanya, semakin lama batuknya semakin parah bahkan suaranya hampir habis.

Rianti mencoba meredakan batuk yang dirasakan Agung dengan berlari ke ruangannya dan mengambilkan segelas air dan memberikannya ke Agung yang masih batuk.

Agung meminum air yang diambil oleh Rianti, perlahan batuknya mereda dan Agung mulai memuntahkan air yang ia minum bersamaan dengan keluarnya darah yang pekat dari tenggorokannya.

Rianti terdiam beku di samping Agung yang masih terbatuk-batuk, sementara itu Ratna terdiam, ia menutupi mulutnya, air matanya mulai jatuh, tanpa pikir panjang ia berlari menjauh.

“Mas? Mas? Itu apa?...” tanpa pikir panjang Rianti berlari meminta pertolongan dari abdi dalem yang lainnya, tak berselang lama mereka datang dan membopong Agung yang seluruh pakaiannya penuh dengan darah yang keluar dari mulutnya.

“Rianti.....Tolong..” Agung memanggil Rianti dengan sisa-sisa tenaganya dan akhirnya tak sadarkan diri.

Agung dibaringkan di ruang kesehatan, nafasnya mulai melemah, ahli obat keraton mulai memeriksanya, ia bernafas berat dan bertanya pada Rianti.

“Apa yang dia makan atau minum sebelumnya?” ia tampak serius dengan tatapan tajamnya.

“Mas Agung, mas Agung hanya minum teh hangat tadi.”

“Dimana teh itu?”

“Sebentar pak, akan saya ambilkan.”
Rianti berlari ke arah tempat mereka duduk tadi, ia mengambil segelas teh yang sudah terminum sebagian, benar saja saat Rianti melihat isi dari gelas teh itu, telah berubah menjadi hijau yang gelap pekat.

Ia terkejut, dan segera memberikan segelas teh itu ke ahli obat keraton yang sedari tadi menunggunya.

“Ini buruk..ini benar-benar buruk.” Ahli obat itu menyuruh semua orang yang ada di sana keluar, Rianti masih saja mengintip dari jendela ruangan itu, ia melihat Agung terdiam, batuk berkali-kali dan terdiam lagi. Sampai saat seorang keamanan keraton mulai menepuk pundaknya.

“Kamu tahu, siapa yang memberikan teh itu padanya?” wajahnya terlihat serius.

“Sebenarnya teh itu untuk saya, mbak Ratna yang memberikan teh itu, saya tidak meminumnya karena saya tidak haus waktu itu, jadi mas Agung yang meminumnya.”

“Ratna? Di mana dia sekarang?”

“Saya tidak tahu pak, saya melihat dia kabur tadi, sekilas saya juga melihat gadis lain ikut lari dengannya.”

“Gadis? Kamu tahu ciri-cirinya?” kini wajahnya semakin penuh penasaran.

“Dia memakai kebaya dengan warna yang berbeda dari abdi dalem yang lain, warnanya merah, dan ada suara kerincing dari gelang kakinya.”
Keamanan keraton itu terkejut dan kemudian bertanya pada Rianti.

“Radin.. Di mana ia pergi?” Rianti menunjuk ke arah terakhir ia melihat Ratna berdiri, dengan cepat keamanan itu berlari disusul dengan abdi dalem yang lain. Meninggalkan Rianti berdiri di sana sendirian.

Rianti duduk di bangku reot tepat di depan ruangan itu. Ia menunduk menyadari kesalahannya, ia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa ia memberikan teh itu pada Agung.

Kenapa tidak dia sendiri yang meminumnya, ia tahu kalau Ratna memang berusaha untuk membunuhnya, bukan Agung, ia sangat menyesal, benar-benar penyesalan memenuhi seluruh kepalanya.

“Kenapa harus mas Agung? Kenapa?”

“Mbak Rianti.” Rianti menoleh ke arah suara itu datang, ia mengusap air mata yang hampir menetes di pipinya.

“Ini buruk, Agung harus mendapatkan perawatan secara rutin. Namun keraton tidak bisa menjamin dia bisa berada di sini untuk waktu yang lama. Apakah Agung memiliki keluarga di rumah?”

“Saya belum tahu pasti pak, mungkin saya akan pergi kesana, sekalian mengantar mas Agung.” Rianti dengan tekadnya akan mengantarkan Agung seorang diri.

“Baiklah mbak, saya akan ambilkan obatnya.”

Rianti mengangguk, ia duduk di samping Agung yang terbaring pucat, nafasnya sangat pelan bahkan hampir berhenti. Sesekali ia memandangi wajahnya, matanya masih terpejam.

“Mas..Mas Agung...Bangun mas..” dengan lembut, Rianti menyentuh dan menggenggam tangan Agung.

“Rianti..” Agung menggenggam kembali tangan Rianti, Rianti tersentak dan melihat wajahnya, Agung mulai mengedipkan kedua matanya, dan perlahan membukanya.

Rianti meminta Agung untuk tetap berbaring di kasur itu, ia bergegas berlari mengikuti arah ahli obat itu pergi dan memanggilnya. Tak berselang lama, mereka kembali dan ahli obat itu memeriksa Agung, ahli obat itu bilang, Agung mulai membaik, namun ia masih harus mendapatkan perawatan lebih dan rutin meminum obat darinya, Rianti mengangguk dan bersedia membantu Agung untuk masa pemulihannya, ahli obat itu memberikan sebuah bungkusan obat untuk mereka bawa pulang.

Rianti bingung, bagaimana caranya agar ia bisa mengantar Agung pulang, sedangkan para abdi dalem sedang melaksanakan tugasnya masing-masing, satu-satunya cara yang ia miliki adalah mengantarkan Agung seorang diri dengan menggunakan sepeda tua milik Agung.

Agung mulai duduk dan berjalan dengan merangkul Rianti, mereka berjalan saling memegangi satu sama lain, Rianti mendudukkan Agung di boncengan belakang dan Rianti mulai menaiki sepedanya, sebelum berangkat Rianti mengikat tubuh Agung dan mengikat kedua ujung tali di tubuhnya agar Agung tidak terjatuh, Rianti mulai mengayuh sepedanya hingga keluar dari area Keraton.

“Rianti.. Kenapa kau sangat peduli denganku?” Agung bertanya pada Rianti dengan suara yang semakin melemah.

“Mas Agung sudah banyak membantu Rianti, tenang saja mas, sebentar lagi kita akan sampai di rumah mas.”








Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang