Eps 7: Mengagumi Layaknya Bintang di Langit

20 2 0
                                    



"Ibu...lihat Ratna bu, Ratna kangen ibu. Ratna juga kangen ayah, tidak akan ada lelaki yang bisa memberi kasih sayang pada Ratna seperti ayah, hanya bintang di langit malam ini yang bisa menyembuhkan rasa rindu Ratna pada kalian, dan bintang yang berada dekat di jantung Ratna, kalung dari Ibu."











"Kalung yang indah ya Ratna, cocok denganmu." Agung memandangi kalung itu, Ratna mulai menundukkan wajahnya, seraya senyum tipis mulai muncul di bibirnya.

"Iya mas, cuman sekarang warna e agak pudar, udah lama soalnya." Ratna memandangi langit, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Agung, wajahnya tak mampu membuat Ratna berpaling, kulitnya yang sawo matang, manis sekali, dengan tubuh tinggi tegap dan blangkon yang dipakainya, Ratna berharap dia selalu memandangi Agung di setiap gerakan yang ia lakukan.

Ratna adalah sosok yang sangat mengagumi Agung, di setiap coretan yang dia gambar, karya yang dia tulis, tak luput dari wajah dan nama Agung Ari Praatmodjo.

Namun disisi lain, saat Rianti datang diantara mereka berdua, Agung lebih tertarik dengan Rianti yang jauh lebih elok darinya, Ratna tau, kalau Agung tau bahwa dia menyukainya, entah Agung menerimanya atau tidak memperdulikannya, tibalah saat Rianti datang sifat asli Agung mulai ditunjukkannya, Ratna benci pada Rianti, benci sekali, dia datang dan dengan mudah merebut Agung darinya.

Kian lama kedekatan Rianti dengan Agung semakin erat, membuatnya semakin kesal, kebenciannya semakin menjadi saat ia melihat Rianti pulang bersama Agung.

"Mas Agung, disini aku menunggumu untuk datang padaku dan menyatakan bahwa kau juga mencintaiku, aku akan selalu menunggu hal itu terjadi padaku, entah pasti atau tidak, aku akan tetap mencintaimu." Ratna memandangi Agung yang tengah berbincang dengan abdi dalem lain dari loteng.

"Mbak Ratna, saya udah bikinin teh buat mbak." Rianti berjalan mendekati Ratna dengan membawa secangkir teh.
Ratna menoleh dengan tatapan tajamnya dan menyaut teh yang dibawa oleh Rianti, beberapa tetes berjatuhan, Rianti menundukkan wajahnya.

"Kenapa kamu lama sekali membuat teh ini, aku sudah kehausan daritadi, dasar malas."
"Maaf mbak tadi abis disuruh nyapu juga di halaman sana, jadi saya baru buat teh ini setelahnya." Rianti tidak berani menatap wajah Ratna mengingat ia lebih muda dari Ratna.
"Kebanyakan alasan kamu, udah sana pergi kamu."

Rianti berjalan pergi, tangannya masih gemetar dan wajahnya yang masih ketakutan. Langkahnya mulai berhenti saat suara gamelan masuk kedalam telinganya, Rianti menoleh ke sumber suara, ia kagum melihat gadis gadis lain yang menari dengan gemulainya di bawah pendopo.

Di samping pendopo, Agung terlihat berdiri sambil melihat pementasan tari itu, ia melihat Rianti juga berdiri di sisi lain pendopo.

"Rianti! Kemarilah."

Rianti mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari kejauhan lantas menolehkan kepalanya, ia melihat Agung nampak mengangkat tangannya, Rianti mendekati Agung dengan langkah kakinya yang sedikit lebih cepat.

"Iya mas, ada apa ya?"

"Gak ada kok, saya cuman manggil kamu aja nemenin saya nonton pertunjukan tarian ini, kamu suka?"

"Oalah, iya mas, saya suka cara mereka menari buat saya kagum, rasanya saya juga ingin jadi penari seperti mereka."

"Hmm..?" Agung merangkul Rianti dan menariknya hingga pundak mereka saling bersentuhan.

Rianti terperanjat kaget.

"Saya bisa ajukan kamu buat dilatih sama pelatih tari e kok, kamu mau?"

"Eee..mas bisa lepas aja nggak, gaenak dilihat orang-orang, nanti ada yang salah paham." Rianti tampak tidak nyaman.

"Aduh iya maaf Rianti." Agung melepaskan rangkulannya. "Maaf udah bikin sampean nggak nyaman."

"Nggak apa-apa kok mas, oh iya masalah tari tadi, saya tertarik mas buat ikut, kalo saya minta mas saja yang buat ajukan Rianti buat ikut nari, boleh gak?"

"Wah, itu sih boleh banget mbak, nanti saya ajukan ke pelatih e ko, besok saya bakalan kabarin mbak Rianti lagi yaa." pipi Agung mulai terangkat.

Dibalik jendela loteng, ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik mereka, dengan alis yang semakin mengkerut, kedua tangannya mulai menggenggam dengan keras.

Namun, suara gadis dari belakang mulai mengejutkannya.

"Oh, anak baru itu, aku tahu kamu pasti sangat membencinya, bukan? Butuh bantuan?"

Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang