Eps 6: Ratna

17 2 0
                                    




"Sendirian, kesepian, tak ada siapapun yang dapat aku harapkan untuk datang di kehidupanku. Namun, saat engkau datang, pikiranku tentang hal tadi perlahan sirna, aku kembali mendapatkan harapan, Mas Agung."














Semenjak kejadian itu, aku hanya sendirian bersama dengan mbah Asih, tetanggaku. Beliau hanya janda sebatang kara, aku dianggap bagai cucunya sendiri, Aku tumbuh bersamanya.

Ratna memandangi langit, disamping nya ada Agung yang senantiasa mendengarkan ceritanya, melepas penat setelah seharian bekerja.

Dulu, semenjak Ratna masih duduk di bangku sekolah dasar, ia sangat disayang oleh kedua orang tuanya, mengingat Ratna adalah anak tunggal mereka.

Bagi mereka, Ratna adalah sebuah telur emas yang harus dijaga apapun hal yang akan terjadi, bisa dibilang, anak yang sangat dimanja.

Dibelikannya sebuah kalung berwarna kuning dengan liontin bintang, berkilau dan indah. Ratna begitu menyukai pemberian kedua orang tuanya, dipakainya setiap hari, bersinar disaat matahari mulai mengarahkan sinarnya pada bumi, Ratna tampak cantik dengan kalung itu.

"Bagaimana sayang? Indah bukan?" suara lembut seorang ibu pada anak yang dicintainya.

"Bagus bu! Bagus! Ratna suka!"

Sebuah pelukan hangat dirasakannya, malam itu dingin, namun dapat ditaklukkan oleh pelukan sang ibu, betapa bahagianya keluarga kecil itu.

"Sudah, buk, Ratna, udah malem loh, tidur yaa, bapak mau ikut ronda dulu sama warga lain. Jangan malem malem looh, tidur duluan aja, bapak pulang e pasti larut."

"Jangan lama lama pak! Nanti gaada yang elus elus Ratna kalo kebangun malem malem."

Bapak tersenyum lembut, diberikannya sebuah sentuhan pada rambut Ratna dengan lembut. "Sabar ya nduk, kan ada ibu, nanti bapak cepet cepet pulang kok."



Malam itu, Ratna hanya bersama ibunya, saling berpelukan menjahi dinginnya malam.

"Sayang, besok kalo udah besar, Ratna mau jadi apa?" tanya ibunya dengan lembut.

"Ratna nggak mau jadi apa apa bu, Ratna cuman mau sama ibu dirumah, bantuin ibu, nemenin ibu, nggak mau pisah dari ibu kalo besok Ratna udah gede."

"Gaboleh gitu nak, Ratna harus punya cita-cita, biar ibu bisa doain apa yang ingin Ratna mau, ibu pasti bangga lihat Ratna sukses."

"Iyadeh, Ratna ingin besok kalo udah gede, Ratna pengen jadi orang sukses, biar bikin ibu bangga!"

Ibunya tersenyum hangat sembari mengecup keningnya, malam itu, Ratna merasakan pelukan hangat dari samping kanan dan kirinya, bapak telah pulang.

Betapa bahagianya menjadi Ratna, disayang oleh kedua orang tuanya.


'Ya, malam itu, sampai sekarang aku masih mengingatnya.' Ratna melanjutkan ceritanya.



'Malam itu, aku menunggu bapak dan ibu pulang, mereka bilang, mereka pergi ke pasar untuk membeli sesuatu, lama sekali aku menunggu mereka pulang, aku selalu memandangi jam hingga menunjukkan 11 malam. Aneh, mereka pergi dari jam 2 siang hingga sekarang belum pulang. Seseorang mulai mengetuk pintuku.'

"Nduk, ayo ikut Mbah Asih, mbah anterin kamu ke orang tuamu."


'Aku terkejut kala itu yang kubukakan pintu bukanlah orang tuaku, aku yang percaya dengan mbah Asih, dan mulai beranjak. Mbah Asih memboncengku dengan sepeda tuanya, mbah Asih mengajakku ke sebuah puskesmas kecil di desaku, dan..'
Ratna menunduk, terdiam sesaat dan mulai melanjutkan ceritanya.




'Aku melihat, dua orang yang terbaring di ranjang puskesmas, ditutupi dengan kain putih, sedikit bercak darah disekitarnya, aku penasaran dan bertanya pada mbah Asih.'



"Mbah, mereka siapa?"

"Tabah ya nduk, mereka orang tuamu."



'Aku terkejut, aku berlari menghampiri ranjang itu, kubuka salah satu kain yang menutupi wajahnya.'

'Terkejut, gemetar, sedih, menyesal tercampur jadi satu. Ibuku, kepalanya penuh darah dan retak. Aku menangis sejadi-jadinya.
Mengejutkan orang-orang yang berkumpul disana. Mbah Asih menarik tanganku dan memelukku.'

'Kecewa, aku kecewa kenapa aku tidak ikut dengan mereka tadi siang. Sudah terbayang bagaimana hidupku selanjutnya, sendirian.
Kenapa aku tidak pergi bersama mereka juga, kenapa yang pertama kali aku lihat adalah ibu, Tuhan tahu betapa aku menyayangi ibu, aku tak tega melihatnya terbaring dalam keadaan tragis seperti itu, diam dan hening.'

"Nduk, tadi orang orang juga bawa ini, mereka bilang, mereka menemukannya di samping tubuh ibumu."



'Mbah Asih memberikan sebuah kotak kardus dengan kantong kertas penuh darah yang membungkusnya.
Aku segera membuka kotak kardus itu, ku lihat pertama kali adalah sepatu berwarna hitam, dengan manik manik di sekitarnya, berkilau dan indah. Namun, aku mulai melihat sebuah kertas di dalamnya, ku buka dan ku baca isinya.'



"Sayang, ini hadiah untukmu dari bapak dan ibu, kamu pasti tampak anggun dengan sepatu barumu.


Bapak yang mengajak ibu untuk melihat sepatu ini saat di pasar, ibu dan bapak senang hingga akhirnya membelikan ini untukmu, maafkan ibu jika tidak mengucapkan ini secara langsung, ibu ingin menaruh kotak ini di meja belajarmu agar kamu yang membaca dan melihatnya sendiri sepulang sekolah, pastinya akan menghilangkan seluruh penat yang kamu rasakan saat di sekolah.

Ibu yakin, Ratna akan menjadi gadis cantik ibu yang sukses kelak, ibu tidak sabar menunggumu dewasa, nduk.


Sampai disini saja ya, bapak daritadi menunggu ibuk menulis ini hihi, semoga Ratna suka ya."



'Aku mulai lemas, tak bisa menahan tubuhku, aku terduduk diam, melihat dengan tatapan kosong, aku menjatuhkan kardus dengan sepatu di dalamnya, mbah Asih segera mengambil sepatu itu dan mengajakku pulang ke rumahnya, aku tak dapat berbicara semalaman itu.'

Sepulang dari pemakaman orang tuaku, aku masih ingin berada disana, memandangi nisan mereka, berharap mereka akan datang dan menyadarkanku bahwa ini semua hanya kebohongan, hanya mimpi.'

"Udah nduk, ayo pulang, bapak sama ibumu pasti sedih jika mereka lihat kamu terus-menerus berduka, belajar mengikhlaskan mereka ya nduk, mereka sudah bahagia di surga sana."



'Mbah Asih merangkulku dan mengajakku pulang, kini aku dan mbah Asih tinggal bersama di rumah mendiang orang tuaku, mengingat saudara mereka saling jauh daerah asalnya, mbah Asih tak tega melihatku tinggal sendirian, apalagi saat itu aku masih anak-anak dan dalam keadaan terpuruk.'

'Mbah Asih selalu menjagaku, membuatkanku makanan setiap harinya, membacakan dongeng sebelum tidur, sama seperti ibuku. Aku juga selalu membantunya, pergi ke sawah, dan memijat kakinya.'




"Nduk, gak boleh putus semangat ya, orang tuamu senantiasa mendoakan mu di atas sana, mereka pasti bangga melihat anaknya sukses, termasuk mbah Asih nih, pasti juga bangga kalo lihat Ratna sukses besok."



'Bahkan sampai sekarang, aku masih mengingat senyuman mbah Asih yang membuat hidupku menjadi secerah dulu.'

'hingga saat aku berumur 16 tahun, mbah Asih menghembuskan nafas terakhirnya saat sujud dalam shalatnya, begitu baiknya hingga mbah Asih meninggal dalam keadaan semulia itu.'

'hingga aku memutuskan untuk mengabdi di keraton hingga aku menemukan jodohku kelak.'

Agung kala itu terharu dengan cerita Ratna, hingga matahari mulai menyinari mereka berdua, telihat sebuah pantulan cahaya dari arah Ratna.

Agung menolehkan pandangannya dan melihat sebuah pantulan cahaya dari liontin bintang yang tergantung di kalung berwarna kuning milik Ratna.


Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang